WAYANG SAPUH LEGER
(Makna dan
Filosofi Wayang Sapuh Leger)
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wayang
Sapuh Leger adalah jenis wayang kulit Bali yang berfungsi sebagai upacara
ritual. Ia termasuk sakral dalam konteksnya karena merupakan bagian dari upacara yang berada dalam lingkungan
siklus kehidupan manusia (Manusa Yadnya). Hanya dipertunjukan pada anak yang
lahir pada wuku wayang, terutama
sekali yang lahirnya persis pada Saniscara
Kajeng Kliwon Tumpek Wayang.
Namun kenyataan di lapangan bahwa
penyelenggaraannya tidak pada hari sabtu saja tetapi dimulai dari hari senin
sampai sabtu pada wuku wayang, bahkan
ada orang Bali yang mengupacarai anaknya sampai tiga kali. Dengan demikian ia
bersifat religius, magis dan sepiritual, yang berhubungan dengan wawasan
mitologis, kosmologis, dan arkhais, sehingga memunculkan simbul-simbul yang
bermakna bagi penghayatan dan pemahaman budaya masyarakat Bali. Simbol-simbol
tersebut terungkap baik dalam lakon, sajian artistic, fungsi, sarana, dan
prasarana yang digunakan, sedangkan maknanya mengendap dan menjadikan sistem
nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi kelakuan manusia Bali.
Dalam konteks ritual, Wayang Sapuh Leger
berfungsi sebagai pemurnian (furifikasi) bagi anak/orang yang lahir pada hari
oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada Wuku Wayang, sehingga ia berfungsi untuk pengukuhan dan pengesahan
dari bentuk ritual keagamaan dan institusi-institusi sosial budaya masyarakat
Bali, karena salah satu perwujudan dari dari system religi mempunyai fungsi
sosial untuk mengintensifkan solidaritas komunitasnya.
Kedudukan
hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena merupakan rentetan
terakhir dari tumpek yang menurut
anggapan orang Bali adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala. Secara mitologis Wuku
Wayang dianggap sebagai salah satu wuku
yang tercemar/kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex
relation) yang tidak wajar antara Batara
Siwa dan istrinya, Dewi Uma.
Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah. Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali
percaya bahwa setiap anak yang lahir pada Wuku
Wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara Sapuh Leger serta menggelar wayang.
Pertunjukan wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat
dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini dikisahkan
karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan lahir dan batin yang
dipercayai serta dijunjung tinggi oleh pendukungnya.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wayang Sapuh Leger
Istilah Sapuh
Leger berasal dari kata dasar “Sapuh” dan “Leger”. Dalam kamus
Bali-Indonesia, terdapat kata Sapuh
yang artinya membersihkan, dan kata Leger
sinonim dengan kata leget (bahasa
jawa) yang artinya tercemar atau kotor. Sehingga secara etimologi Sapuh Leger diartikan pembersihan atau
penyucian dari keadaan tercemar atau kotor. Secara keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah suatu drama
ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan
atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Kata “Sapuh Leger” di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukkan
wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat pada Wuku Wayang dalam siklus kalender
tradisional Bali. Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat/nglukat, yaitu suatu aktivitas
untuk membuat tirtha (air suci) yang
dilakukan baik oleh pandia/pinanditsa (seorang pendeta) maupun seorang dalang dengan tujuan untuk membersihkan mala (kekotoran) rohani seseorang.
Kenyataannya di lapangan bahwa ada dua macam upacara pembersihan (nglukat)
dengan sarana wayang kulit yakni Sudhamala
dan Sapuh Leger. Sudhamala adalah pembuatan tirta
panglukatan yang dilakukan dalang setelah
pentas wayang berakhir, ditujukan untuk pemurnian pada upacara keagamaan yang
meliputi upacara Panca Yajna,
sedangkan Sapuh Leger adalah
pembuatan tirta panglukatan yang
dilakukan seorang dalang sehabis
pertunjukkan wayang, ditujukan untuk pembersihan seseorang yang khusus lahir
pada Wuku Wayang. Pertunjukan wayang
kulit di Bali secara tradisional memang erat kaitannya dengan upacara penyucian
atau pembersihan, ditandai dengan keterlibatannya pada setiap upacara. Wayang
selalu hadir pada setiap upacara baik sebagai bagian (wali) maupun sebagai
pengiring (bebali) disamping jenis kesenian lainnya.
2.2 Sejarah Wayang
Sapuh Leger
Dalam perjalanan sejarahnya suatu kenyataan
bahwa asal mula wayang merupakan sarana upacara keagamaan (ritus) pada zaman
animisme nenek moyang kita. Dari kajian filosofisnya, wayang sarat dengan
perlambang atau makna simbolik mengenai kehidupan dunia melalui siratan lakon
atau perwatakan tokoh-tokoh wayang itu sendiri, sehingga ada kemungkinan untuk
melakukan pangkajian filosofis terkait dengan makna kehidupan manusia. Analogi
dengan pernyataan diatas, secara tradisi pertunjukkan Wayang Sapuh Leger merupakan suatu peninggalan budaya kehidupan
masyarakat Bali yang diadatkan dan dianggap sakral, maka ia termasuk wali (bagian upacara) diselenggarakan
untuk upacara keagamaan (manusia yajna) yaitu untuk anak/orang yang lahir pada Wuku Wayang. Pertunjukkan ini berfungsi
sebagai inisiasi, merupakan salah satu upacara ritus yang menyangkut
keselamatan kehidupan umat manusia pendukung budaya tersebut. Hal ini sudah
menjadi kebiasaan turun-temurun dalam perilaku kehidupan social masyarakat
Bali, dengan peristiwa tetap secara periodik, berulang tiap-tiap 6 bulan (210
hari) menurut perhitungan kalender Bali atau 7 bulan Masehi.
Dalam cerita Wayang Lakon Sapu Leger, diceritakan Dewa Kala akan memakan segala yang lahir pada Wuku Wayang (menurut kalender Bali) atau yang berjalan tengah hari
tepat Wuku Wayang. Atas petunjuk ayahandanya Dewa Siwa, Dewa Kala
mengetahui bahwa Dewa Rare Kumara
putra bungsu dari Dewa Siwa lahir
pada Wuku Wayang. Pada suatu hari
bertepatan pada Wuku Wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa Kala hendak dimakannya. Dewa Rare Kumara lari kesana ke mari
menghindarkan dirinya dari tangkapan Dewa
Kala. Ketika tengah hari tepat, dan dalam keadaan terengah-engah kepayahan Dewa Rare Kumara nyaris tertangkap Bhatara Kala kalau tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Oleh karena dihalangi oleh Dewa Siwa maka Dewa Kala hendak memakan ayahandanya. Hal ini disebabkan karena Dewa Siwa berjalan tengah hari tepat
dalam Wuku Wayang.
Diceritakan selanjutnya, Dewa Siwa rela dimakan oleh putranya Dewa Kala, dengan syarat Bhatara Kala dapat menterjemahkan dan
menerka ini serangkuman sloka yang
diucapkan Dewa Siwa. Bunyi sloka tersebut : “ Om asta pada sad lungayan, Catur puto dwi puruso, Eko bhago muka
enggul, Dwi crengi sapto locanam” Dewa
Kala segera menterjemahkan sloka
itu serta menerka maksudnya ; “Om asta
pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki
delapan, yaitu kaki Dewa Siwa enam
kaki Dewi Uma dua, semuanya delapan,
“Sad Lungayan, tangan enam yaitu
tangan Dewa Siwa empat, tangan Dewi Uma dua semua enam, “ Catur puto, buah kelamin laki-laki
empat, yaitu buah kelamin Dewa Siwa
Dua, buah kelamin lembu dua, semuanya empat, “ Dwi puruso, dua kelamin laki-laki, yaitu kelamin Dewa Siwa satu, kelamin lembu satu,
semuanya dua, “ Eka bhago, satu
kelamin perempuan yaitu kelamin Dewi Uma,
“ Dwi crengi dua tanduk yaitu tanduk
lembu, “ Sapto locanam, tujuh mata
yaitu mata Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma dua, mata lembu dua, yaitu
hanya enam mata tidak tujuh, mana lagi saya tidak tahu. Dewa Siwa bersabda mataku tiga (Tri Netra) diantara keningku ada
satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat seluruh alam ditutup dengan cudamani. Akhirnya Dewa Kala tidak dapat menerka dengan sempurna sloka itu, tambahan pula matahari condong kebarat, maka Dewa Kala tidak berhak memakan Dewa Siwa ayahandanya. Karena itu Dewa Kala meneruskan pengejaran kepada Dewa Rare Kumara yang telah jauh larinya
masuk ke halaman rumah-rumah orang. Akhirnya, pada malam hari bertemu dengan
seorang dalang yang sedang mengadakan
pertunjukan wayang, Rare Kumara masuk
ke bumbung (pembuluh bambu) gender wayang (musik wayang) dan Dewa Kala memakan sesajen wayang itu.
Oleh karena itu, Ki Mangku Dalang
menasehati Dewa Kala agar jangan
meneruskan niatnya hendak memakan Dewa
Rare Kumara, karena Dewa Kala
telah memakan sesajen wayang itu sebagai tebusannya. Dewa Kala tidak lagi berdaya melanjutkan pengejarannya, sehingga Dewa Rare Kumara akhirnya selamat.
Dengan demikian dikisahkan Dewa Rare
Kumara sebagai mitologi bahwa anak yang lahir pada hari yang bertepatan
dengan Wuku Wayang dianggap anak
sukerta dan akan menjadi santapan Bhatara
Kala, karena itu anak bersangkutan harus dilukat dengan Tirtha Wayang Sapuleger.
Dalam ajaran Agama Hindu ada tiga penggambaran sifat manusia yaitu sifat satwam,sifat rajas dan sifat tamas.
Ketiga sifat itu ada dalam diri manusia. Hanya yang menjadi titik permasalahan,
dari ketiga sifat tersebut, sifat mana yang lebih ditonjolkan pada diri
manusia. Jika sifat satwam yang
ditinjolkan maka sifat Dewa Rare Kumara
yang lebih dominan ditampilkan, dimana sifat Dewa Rare Kumara penuh dengan sifat welas asih, suka menolong dan
penyayang, sehingga Dewa Rare Kumara
menjadi suatu keyakinan serta kepercayaan bagi wanita Bali yang mempunyai anak
kecil, bahwa Dewa Rare Kumaralah yang
membantu dan memelihara anak mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Pelangkiran (tempat suci yang terbuat
dari kayu) sebagai tempat memuja Dewa Rare
Kumara, ditempatkan di kamar tidur si anak. Begitu pula sebaliknya, jika
sifat rajas dan tamas yang lebih dominan pada diri manusia maka sifat Dewa Kala yang akan ditampilkan sehingga
cenderung akan bersifat angkuh, rakus dan egoisme.
Didalam cerita Sapuleger diungkapkan Betara
Kala hanya mampu menebak dari badan fisik Dewa Siwa, seperti kaki Beliau, tangan Beliau, alat kelamin Beliau
dan sebagainya. Akan tetapi, Dewa Kala
tidak mampu menebak mata ketiga dari Dewa
Siwa. Kalau kita analisis kembali cerita Sapuleger bahwa Dewa Kala
hanya mampu melihat badan fisik dari Dewa
Siwa, tetapi tidak mampu melihat dunia yang ada di luar kekuatan diri
manusia atau kekuatan Tuhan. Sama halnya dengan manusia yang dipengaruhi oleh
keinginan dan hawa nafsu dia hanya mampu melihat alam sekala (alam nyata) tetapi tidak mampu melihat alam niskala (alam maya).
Lakon Dewa
Kala mendapat kedudukan yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Bali,
karena lakon tersebut termasuk mitos yang diyakini dan dipercayai. Dalam Lontar Siwagama menyebutkan sebagai
berikut:
”…sinasa ring lemah, ryyarepaning saluagung, ginaweken pnggung Hyang
Trisamaya, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksa de
Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling langon-langon, winahyaken lampah Bhatara kalih,
Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit
ring Yawa mandala, tinonton ing wwang akweh….”
Artinya:
“…di bumi tepatnya di depan rumah Bale Gede, dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukkan
wayang memakai kelir, Bhatara Iswara
bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang
Wisnu, diiringi gamelan Gender dan
kecapi, menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan,
menceritakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang
Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang (ringgit) di bumi
Jawa, orang yang menonton sangat banyak….”
Sementara itu Lontar Tantu Panggelaran juga menyebutkan tentang asal mula
pertunjukkan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah
sebagai berikut:
”…Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara pandah Bhatara
Kalarudra: tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tattwa Bhatara
mwang Bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka
wayangnira, kinudangan panjang langonlangon. Bhatara Iswara sira hudipan,
rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana masang gina
hawayang, tineher habandagina hawayang: mangkana mula kacarita nguni….”
Artinya:
”…Para dewa menjadi takut,
Siwa yang berwujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia.
Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi
dan mengadakan pertunjukkan wayang. Mereka menceritakan siapa sesungguhnya
Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukkan itu diadakan di atas panggung dengan
kelir, sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan
dipahat disertai nyanyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang,
didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain
musik dan memaikan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukkan wayang
kulit….”
Menurut Lontar Sapuh Leger, Bhatara Siwa memberi ijin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada Wuku Wayang. Berdasarkan isi lontar tersebut
diatas, Umat Hindu pada umumnya,
apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada hari itu, demi
keselamatannya, orang-orang Bali berusaha mengupacarai-Nya dengan mementaskan Wayang Sapuh Leger, walaupun alat-alat
perlengkapannya harus dipersiapkan jauh lebih banyak dari perlengkapan sesajen
jenis wayang lainnya. Ada 3 jenis pertunjukkan wayang yang mendapat kedudukan
istimewa yakni: (1) Wayang Sapuh Leger,
(2) Wayang Lemah, dan (3) Wayang Sudamala yang dianggap sakral
karena memiliki fungsi ngruwat. Namun
diantara ketiga wayang itu, Wayang Sapuh
Leger yang paling istimewa, kenyataan ini didukung oleh ciri-ciri spesifik
antara lain: Wayang Sapuh Leger
menggunakan repertur khusus yaitu Batara
Kala, suatu mitos yang diyakini ada dan sangat menakutkan serta berbahaya. Wayang Sapuh Leger harus dilengkapi
sesajen meliputi pohon pisang (gedebog) berikut buah jantungnya, serta berbagai
sesajen lainnya. Wayang Sapuh Leger
hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang
yang telah disucikan dan memahami isi Lontar
Dharma Pewayangan dan Lontar Sapuh
Leger.
2.3 Makna dan Tata Cara Teknis Upacara Pabayuhan Sapuh Leger
Umat Hindu terutama di Bali sangat meyakini,
bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang
merupakan hari kelahiran yang cemer, mala
serta melik (kepingit). Kebanyakan
orang tua yang mempunyai anak lahir pada Wuku
Wayang merasakan ketakutan dan was-was atas kelanjutan kehidupan anaknya.
Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan
Suddamala yang menceritakan Dewa Siwa
pura-pura sakit keras, dan mengutus Dewi
Uma mencari Lembu Putih dialam hutan
sebagai obat. Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka, Sang dewi sangat patuh melaksanakan
perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan
Lembu Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu Dewi Uma harus melakukan hal yang tidak
terpuji yaitu harus mengorbankan kehormatannya dengan si gembala . Dan atas
perbuatannya itu Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi Dewi Durga, berujud raksasa dan tinggal di Setra Gandamayu. Selanjutnya dari hubungan itu lahirlah seorang
anak bermasalah yaitu Dewa Kala sosok
makhluk raksasa yang menyeramkan yang
konon lahir pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang.
Putra dari Dewa Siwa yang menyamar
sebagai pengembala, merasa bertanggung jawab dengan penyamarannya mengakui Dewa Kala putranya. Atas pertanyaan Dewa Kala makanan apa yang bisa
disantap, Dewa Siwa memberi ijin
kepada putranya orang yang lahir menyamai kelahiran Dewa Kala sendiri dan ternyata, putra Siwa berikutnya yakni Rare
Kumara lahir di Tumpek Wayang.
Maka Dewa Kala pun harus menyantap Rare Kumara meskipun adik
kandungnya sendiri.
Di masyarakat berkembang adanya suatu
pertanyaan sekaligus pendapat tentang hal itu, yaitu yang benar dan patut
tentang “dalang brahman atau brahmana
dalang”, untuk hal itu, disamping sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Bhatara Kawitan dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga
sebagai pelaksanaan bhakti sosial kehadapan Umat Hindu juga untuk memberikan
pemahaman kehadapan Umat Hindu tentang pelaksanaan upacara Sapuh Leger baik dari segi tata laksana proses dan yang berhak dan
berkewenangan untuk “muput”. Sesuai dengan apa yang disebutkan di depan tentang
pemberian suatu pemahaman perihal pelaksanaan upacara Sapuh Leger, pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal yang
harus dimiliki oleh seorang Amengku
Dalang (baca: Dalang Mpu Leger) yang berkewenangan sebagai pemuput dan
dibantu oleh yang lainnya, adalah sebagai berikut: Dalang seharusnya seorang Dalang
Brahmana yaitu seorang Pandita
sebagai Dalang dan atau yang berlatar
belakang dalang yang disebut Ida Mpu
Leger. Beliau adalah seorang Mpu
Leger yang mampu dan paham serta menguasai Ketattwaning / Dharma Pewayangan. Beliau juga tahu dan paham serta
menguasai mantram pengelukatan seperti: Agni
Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram pengelukatan lainnya. Beliau memang
benar-benar mampu dan menguasai gagelaran
sebagai seorang Pandita (Mpu Leger)
dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah laku tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya
sebagai Sang Satya Wadi, Sang
Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa.
Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam
beberapa lontar penunjang, khususnya Lelampahan
Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara kehadapan
Ida Pandita Mpu Leger tentang
pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh
Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya sebagi berikut:
1. Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar
tawang)
2. Ring Sor Surya: Caru mancasata Banten
Panebasan san Maweton Banten arepan Kelir Ring Lalujuh Kelir
3.
Banten Sang Dalang
Mpu Leger: Bebangkit Asoroh Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala Tebasan
Sungsang Sumbel Tebasan Sapuh Leger Tebasan Tadah Kala Tebasan Penolak Bhaya
Tebasan Pangenteg Bayu Tebasan Pengalang Hati Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan
Daksina Panebusan Bhaya Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar, gumpang
injin, gumpang ketan, gumpang padi, rambut Ida Pandita lan menyan, dengan upakara suci pejati lan segehan panca warna
ditempatkan di pane. semua proses ini
dilakukan di depan angkul-angkul baru
dilanjutkan dengan pelukatan secara
bersama-sama di pemedal lebuh.
4.
Tirta pemuput:
Tirta Kelebutan, Tirta Campua, Tirta Segara, Tirta Melanting, Tirta Pancuran,
Tirta Tukad Teben Seme/Setra, Tirta Padmasari, Tirta Merajan soang soang, Tirta
Pengelukatan Wayang, Tirta Jagat Nata,
Tirta Pemuput/Sulinggih, Khusus Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa: Suci pejati, Praspengambean tumpeng 7
asoroh, daksina gede sesuai urip
kelahiran, sesayut pengenteg bayu,merta utama, pageh urip dan di Surya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep
dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai
dengan kelahiran:
a. Wetu Redite: Sesayut Sweka Kusuma
b. Wetu Soma: Sesayut Nila Kusuma Jati/Citarengga.
c. Wetu Anggara: Sesayut Jinggawati Kusuma/Carukusuma
d. Wetu Budha: Sesayut Pita Kusuma Jati/Purnasuka
e. Wetu Wraspati: Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha
Kusumajati Sesayut sang
f. Wetu Sukra: Sesayut Raja Kusuma Jati/Wilet
Jaya Raja Dira.
g. Wetu Saniscara: Sesayut Gni Bang Kusuma
Jati/Kusuma Gandha Kusuma.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi secara etimologi Sapuh Leger diartikan pembersihan atau penyucian dari keadaan
tercemar atau kotor. Secara keseluruhan, Wayang
Sapuh Leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit
yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar
atau kotor secara rohani.
Peristiwa
penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger,
secara periodi berulang pada tiap-tiap 210 hari (6 bulan pawukon kalender
Bali). Wayang Sapuh Leger yang sering
dipentaskan di Bali bersumber pada Lontar
Kala Purana, Japa/cepa Kala, Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kekawin Sang Hyang Kala, dan Tutur
Wiswa Karma.
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah
Krtawo Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar