Rabu, 08 April 2020

WAYANG SAPUH LEGER



WAYANG SAPUH LEGER
 (Makna dan Filosofi Wayang Sapuh Leger) 

Oleh:  I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
 
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wayang Sapuh Leger adalah jenis wayang kulit Bali yang berfungsi sebagai upacara ritual. Ia termasuk sakral dalam konteksnya karena merupakan bagian  dari upacara yang berada dalam lingkungan siklus kehidupan manusia (Manusa Yadnya). Hanya dipertunjukan pada anak yang lahir pada wuku wayang, terutama sekali yang lahirnya persis pada Saniscara Kajeng Kliwon Tumpek Wayang.
Namun kenyataan di lapangan bahwa penyelenggaraannya tidak pada hari sabtu saja tetapi dimulai dari hari senin sampai sabtu pada wuku wayang, bahkan ada orang Bali yang mengupacarai anaknya sampai tiga kali. Dengan demikian ia bersifat religius, magis dan sepiritual, yang berhubungan dengan wawasan mitologis, kosmologis, dan arkhais, sehingga memunculkan simbul-simbul yang bermakna bagi penghayatan dan pemahaman budaya masyarakat Bali. Simbol-simbol tersebut terungkap baik dalam lakon, sajian artistic, fungsi, sarana, dan prasarana yang digunakan, sedangkan maknanya mengendap dan menjadikan sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi kelakuan manusia Bali. Dalam konteks ritual, Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai pemurnian (furifikasi) bagi anak/orang yang lahir pada hari oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada Wuku Wayang, sehingga ia berfungsi untuk pengukuhan dan pengesahan dari bentuk ritual keagamaan dan institusi-institusi sosial budaya masyarakat Bali, karena salah satu perwujudan dari dari system religi mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas komunitasnya.
Kedudukan hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena merupakan rentetan terakhir dari tumpek yang menurut anggapan orang Bali adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala. Secara mitologis Wuku Wayang dianggap sebagai salah satu wuku yang tercemar/kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex relation) yang tidak wajar antara Batara Siwa dan istrinya, Dewi Uma. Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah. Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali percaya bahwa setiap anak yang lahir pada Wuku Wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara Sapuh Leger serta menggelar wayang. Pertunjukan wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini dikisahkan karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung tinggi oleh pendukungnya. 

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wayang Sapuh Leger
Istilah Sapuh Leger berasal dari kata dasar “Sapuh” dan “Leger”. Dalam kamus Bali-Indonesia, terdapat kata Sapuh yang artinya membersihkan, dan kata Leger sinonim dengan kata leget (bahasa jawa) yang artinya tercemar atau kotor. Sehingga secara etimologi Sapuh Leger diartikan pembersihan atau penyucian dari keadaan tercemar atau kotor. Secara keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Kata “Sapuh Leger” di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukkan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat pada Wuku Wayang dalam siklus kalender tradisional Bali. Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat/nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat tirtha (air suci) yang dilakukan baik oleh pandia/pinanditsa (seorang pendeta) maupun seorang dalang dengan tujuan untuk membersihkan mala (kekotoran) rohani seseorang. Kenyataannya di lapangan bahwa ada dua macam upacara pembersihan (nglukat) dengan sarana wayang kulit yakni Sudhamala dan Sapuh Leger. Sudhamala adalah pembuatan tirta panglukatan yang dilakukan dalang setelah pentas wayang berakhir, ditujukan untuk pemurnian pada upacara keagamaan yang meliputi upacara Panca Yajna, sedangkan Sapuh Leger adalah pembuatan tirta panglukatan yang dilakukan seorang dalang sehabis pertunjukkan wayang, ditujukan untuk pembersihan seseorang yang khusus lahir pada Wuku Wayang. Pertunjukan wayang kulit di Bali secara tradisional memang erat kaitannya dengan upacara penyucian atau pembersihan, ditandai dengan keterlibatannya pada setiap upacara. Wayang selalu hadir pada setiap upacara baik sebagai bagian (wali) maupun sebagai pengiring (bebali) disamping jenis kesenian lainnya. 

2.2 Sejarah Wayang Sapuh Leger
Dalam perjalanan sejarahnya suatu kenyataan bahwa asal mula wayang merupakan sarana upacara keagamaan (ritus) pada zaman animisme nenek moyang kita. Dari kajian filosofisnya, wayang sarat dengan perlambang atau makna simbolik mengenai kehidupan dunia melalui siratan lakon atau perwatakan tokoh-tokoh wayang itu sendiri, sehingga ada kemungkinan untuk melakukan pangkajian filosofis terkait dengan makna kehidupan manusia. Analogi dengan pernyataan diatas, secara tradisi pertunjukkan Wayang Sapuh Leger merupakan suatu peninggalan budaya kehidupan masyarakat Bali yang diadatkan dan dianggap sakral, maka ia termasuk wali (bagian upacara) diselenggarakan untuk upacara keagamaan (manusia yajna) yaitu untuk anak/orang yang lahir pada Wuku Wayang. Pertunjukkan ini berfungsi sebagai inisiasi, merupakan salah satu upacara ritus yang menyangkut keselamatan kehidupan umat manusia pendukung budaya tersebut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun dalam perilaku kehidupan social masyarakat Bali, dengan peristiwa tetap secara periodik, berulang tiap-tiap 6 bulan (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali atau 7 bulan Masehi.
Dalam cerita Wayang Lakon Sapu Leger, diceritakan Dewa Kala akan memakan segala yang lahir pada Wuku Wayang (menurut kalender Bali) atau yang berjalan tengah hari tepat Wuku Wayang. Atas petunjuk ayahandanya Dewa Siwa, Dewa Kala mengetahui bahwa Dewa Rare Kumara putra bungsu dari Dewa Siwa lahir pada Wuku Wayang. Pada suatu hari bertepatan pada Wuku Wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa Kala hendak dimakannya. Dewa Rare Kumara lari kesana ke mari menghindarkan dirinya dari tangkapan Dewa Kala. Ketika tengah hari tepat, dan dalam keadaan terengah-engah kepayahan Dewa Rare Kumara nyaris tertangkap Bhatara Kala kalau tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Oleh karena dihalangi oleh Dewa Siwa maka Dewa Kala hendak memakan ayahandanya. Hal ini disebabkan karena Dewa Siwa berjalan tengah hari tepat dalam Wuku Wayang.
Diceritakan selanjutnya, Dewa Siwa rela dimakan oleh putranya Dewa Kala, dengan syarat Bhatara Kala dapat menterjemahkan dan menerka ini serangkuman sloka yang diucapkan Dewa Siwa. Bunyi sloka tersebut : “ Om asta pada sad lungayan, Catur puto dwi puruso, Eko bhago muka enggul, Dwi crengi sapto locanamDewa Kala segera menterjemahkan sloka itu serta menerka maksudnya ; “Om asta pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki delapan, yaitu kaki Dewa Siwa enam kaki Dewi Uma dua, semuanya delapan, “Sad Lungayan, tangan enam yaitu tangan Dewa Siwa empat, tangan Dewi Uma dua semua enam, “ Catur puto, buah kelamin laki-laki empat, yaitu buah kelamin Dewa Siwa Dua, buah kelamin lembu dua, semuanya empat, “ Dwi puruso, dua kelamin laki-laki, yaitu kelamin Dewa Siwa satu, kelamin lembu satu, semuanya dua, “ Eka bhago, satu kelamin perempuan yaitu kelamin Dewi Uma, “ Dwi crengi dua tanduk yaitu tanduk lembu, “ Sapto locanam, tujuh mata yaitu mata Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma dua, mata lembu dua, yaitu hanya enam mata tidak tujuh, mana lagi saya tidak tahu. Dewa Siwa bersabda mataku tiga (Tri Netra) diantara keningku ada satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat seluruh alam ditutup dengan cudamani. Akhirnya Dewa Kala tidak dapat menerka dengan sempurna sloka itu, tambahan pula matahari condong kebarat, maka Dewa Kala tidak berhak memakan Dewa Siwa ayahandanya. Karena itu Dewa Kala meneruskan pengejaran kepada Dewa Rare Kumara yang telah jauh larinya masuk ke halaman rumah-rumah orang. Akhirnya, pada malam hari bertemu dengan seorang dalang yang sedang mengadakan pertunjukan wayang, Rare Kumara masuk ke bumbung (pembuluh bambu) gender wayang (musik wayang) dan Dewa Kala memakan sesajen wayang itu. Oleh karena itu, Ki Mangku Dalang menasehati Dewa Kala agar jangan meneruskan niatnya hendak memakan Dewa Rare Kumara, karena Dewa Kala telah memakan sesajen wayang itu sebagai tebusannya. Dewa Kala tidak lagi berdaya melanjutkan pengejarannya, sehingga Dewa Rare Kumara akhirnya selamat. Dengan demikian dikisahkan Dewa Rare Kumara sebagai mitologi bahwa anak yang lahir pada hari yang bertepatan dengan Wuku Wayang dianggap anak sukerta dan akan menjadi santapan Bhatara Kala, karena itu anak bersangkutan harus dilukat dengan Tirtha Wayang Sapuleger.
Dalam ajaran Agama Hindu ada tiga penggambaran sifat manusia yaitu sifat satwam,sifat rajas dan sifat tamas. Ketiga sifat itu ada dalam diri manusia. Hanya yang menjadi titik permasalahan, dari ketiga sifat tersebut, sifat mana yang lebih ditonjolkan pada diri manusia. Jika sifat satwam yang ditinjolkan maka sifat Dewa Rare Kumara yang lebih dominan ditampilkan, dimana sifat Dewa Rare Kumara penuh dengan sifat welas asih, suka menolong dan penyayang, sehingga Dewa Rare Kumara menjadi suatu keyakinan serta kepercayaan bagi wanita Bali yang mempunyai anak kecil, bahwa Dewa Rare Kumaralah yang membantu dan memelihara anak mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Pelangkiran (tempat suci yang terbuat dari kayu) sebagai tempat memuja Dewa Rare Kumara, ditempatkan di kamar tidur si anak. Begitu pula sebaliknya, jika sifat rajas dan tamas yang lebih dominan pada diri manusia maka sifat Dewa Kala yang akan ditampilkan sehingga cenderung akan bersifat angkuh, rakus dan egoisme.
Didalam cerita Sapuleger diungkapkan Betara Kala hanya mampu menebak dari badan fisik Dewa Siwa, seperti kaki Beliau, tangan Beliau, alat kelamin Beliau dan sebagainya. Akan tetapi, Dewa Kala tidak mampu menebak mata ketiga dari Dewa Siwa. Kalau kita analisis kembali cerita Sapuleger bahwa Dewa Kala hanya mampu melihat badan fisik dari Dewa Siwa, tetapi tidak mampu melihat dunia yang ada di luar kekuatan diri manusia atau kekuatan Tuhan. Sama halnya dengan manusia yang dipengaruhi oleh keinginan dan hawa nafsu dia hanya mampu melihat alam sekala (alam nyata) tetapi tidak mampu melihat alam niskala (alam maya).
Lakon Dewa Kala mendapat kedudukan yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Bali, karena lakon tersebut termasuk mitos yang diyakini dan dipercayai. Dalam Lontar Siwagama menyebutkan sebagai berikut:
”…sinasa ring lemah, ryyarepaning saluagung, ginaweken pnggung Hyang Trisamaya, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksa de Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling langon-langon, winahyaken lampah Bhatara kalih, Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit ring Yawa mandala, tinonton ing wwang akweh….”
Artinya:
“…di bumi tepatnya di depan rumah Bale Gede, dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukkan wayang memakai kelir, Bhatara Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu, diiringi gamelan Gender dan kecapi, menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan, menceritakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang (ringgit) di bumi Jawa, orang yang menonton sangat banyak….”
Sementara itu Lontar Tantu Panggelaran juga menyebutkan tentang asal mula pertunjukkan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
”…Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara pandah Bhatara Kalarudra: tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tattwa Bhatara mwang Bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka wayangnira, kinudangan panjang langonlangon. Bhatara Iswara sira hudipan, rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana masang gina hawayang, tineher habandagina hawayang: mangkana mula kacarita nguni….”
Artinya:
”…Para dewa menjadi takut, Siwa yang berwujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi dan mengadakan pertunjukkan wayang. Mereka menceritakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukkan itu diadakan di atas panggung dengan kelir, sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai nyanyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang, didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan memaikan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukkan wayang kulit….”
Menurut Lontar Sapuh Leger, Bhatara Siwa memberi ijin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada Wuku Wayang. Berdasarkan isi lontar tersebut diatas, Umat Hindu pada umumnya, apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada hari itu, demi keselamatannya, orang-orang Bali berusaha mengupacarai-Nya dengan mementaskan Wayang Sapuh Leger, walaupun alat-alat perlengkapannya harus dipersiapkan jauh lebih banyak dari perlengkapan sesajen jenis wayang lainnya. Ada 3 jenis pertunjukkan wayang yang mendapat kedudukan istimewa yakni: (1) Wayang Sapuh Leger, (2) Wayang Lemah, dan (3) Wayang Sudamala yang dianggap sakral karena memiliki fungsi ngruwat. Namun diantara ketiga wayang itu, Wayang Sapuh Leger yang paling istimewa, kenyataan ini didukung oleh ciri-ciri spesifik antara lain: Wayang Sapuh Leger menggunakan repertur khusus yaitu Batara Kala, suatu mitos yang diyakini ada dan sangat menakutkan serta berbahaya. Wayang Sapuh Leger harus dilengkapi sesajen meliputi pohon pisang (gedebog) berikut buah jantungnya, serta berbagai sesajen lainnya. Wayang Sapuh Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang yang telah disucikan dan memahami isi Lontar Dharma Pewayangan dan Lontar Sapuh Leger.

2.3 Makna dan Tata Cara Teknis Upacara Pabayuhan Sapuh Leger
Umat Hindu terutama di Bali sangat meyakini, bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang merupakan hari kelahiran yang cemer, mala serta melik (kepingit). Kebanyakan orang tua yang mempunyai anak lahir pada Wuku Wayang merasakan ketakutan dan was-was atas kelanjutan kehidupan anaknya. Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan Suddamala yang menceritakan Dewa Siwa pura-pura sakit keras, dan mengutus Dewi Uma mencari Lembu Putih dialam hutan sebagai obat.  Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka,  Sang dewi sangat patuh melaksanakan perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan Lembu  Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu Dewi Uma harus melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus mengorbankan kehormatannya dengan si gembala . Dan atas perbuatannya itu Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi Dewi Durga, berujud raksasa dan tinggal di Setra Gandamayu. Selanjutnya dari hubungan itu lahirlah seorang anak bermasalah yaitu Dewa Kala sosok makhluk  raksasa yang menyeramkan yang konon lahir pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang. Putra dari Dewa Siwa yang menyamar sebagai pengembala, merasa bertanggung jawab dengan penyamarannya mengakui Dewa Kala  putranya. Atas pertanyaan Dewa Kala makanan apa yang bisa disantap, Dewa Siwa memberi ijin kepada putranya orang yang lahir menyamai kelahiran Dewa Kala sendiri dan ternyata, putra Siwa berikutnya yakni Rare Kumara lahir di Tumpek Wayang. Maka Dewa Kala pun  harus menyantap Rare Kumara meskipun adik kandungnya sendiri.
Di masyarakat berkembang adanya suatu pertanyaan sekaligus pendapat tentang hal itu, yaitu yang benar dan patut tentang “dalang brahman atau brahmana dalang”, untuk hal itu, disamping sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Bhatara Kawitan dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga sebagai pelaksanaan bhakti sosial kehadapan Umat Hindu juga untuk memberikan pemahaman kehadapan Umat Hindu tentang pelaksanaan upacara Sapuh Leger baik dari segi tata laksana proses dan yang berhak dan berkewenangan untuk “muput”. Sesuai dengan apa yang disebutkan di depan tentang pemberian suatu pemahaman perihal pelaksanaan upacara Sapuh Leger, pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang (baca: Dalang Mpu Leger) yang berkewenangan sebagai pemuput dan dibantu oleh yang lainnya, adalah sebagai berikut: Dalang seharusnya seorang Dalang Brahmana yaitu seorang Pandita sebagai Dalang dan atau yang berlatar belakang dalang yang disebut Ida Mpu Leger. Beliau adalah seorang Mpu Leger yang mampu dan paham serta menguasai Ketattwaning / Dharma Pewayangan. Beliau juga tahu dan paham serta menguasai mantram pengelukatan seperti: Agni Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram pengelukatan lainnya. Beliau memang benar-benar mampu dan menguasai gagelaran sebagai seorang Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah laku tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya sebagai Sang Satya  Wadi, Sang Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa.
Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya sebagi berikut:
1.   Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang)
2.   Ring Sor Surya: Caru mancasata Banten Panebasan san Maweton Banten arepan Kelir Ring Lalujuh Kelir
3.   Banten Sang Dalang Mpu Leger: Bebangkit Asoroh Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala Tebasan Sungsang Sumbel Tebasan Sapuh Leger Tebasan Tadah Kala Tebasan Penolak Bhaya Tebasan Pangenteg Bayu Tebasan Pengalang Hati Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan Daksina Panebusan Bhaya Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar, gumpang injin, gumpang ketan, gumpang padi, rambut Ida Pandita lan menyan, dengan upakara suci pejati lan segehan panca warna ditempatkan di pane. semua proses ini dilakukan di depan angkul-angkul baru dilanjutkan dengan pelukatan secara bersama-sama di pemedal lebuh.
4.   Tirta pemuput: Tirta Kelebutan, Tirta Campua, Tirta Segara, Tirta Melanting, Tirta Pancuran, Tirta Tukad Teben Seme/Setra, Tirta Padmasari, Tirta Merajan soang soang, Tirta Pengelukatan Wayang, Tirta Jagat Nata,  Tirta Pemuput/Sulinggih, Khusus Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa: Suci pejati, Praspengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu,merta utama, pageh urip dan di Surya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran:
a.   Wetu Redite: Sesayut Sweka Kusuma
b.   Wetu Soma: Sesayut Nila Kusuma  Jati/Citarengga.
c.    Wetu Anggara: Sesayut Jinggawati Kusuma/Carukusuma
d.   Wetu Budha: Sesayut Pita Kusuma Jati/Purnasuka
e.    Wetu Wraspati: Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha Kusumajati Sesayut sang
f.     Wetu Sukra: Sesayut Raja Kusuma Jati/Wilet Jaya Raja Dira.
g.   Wetu Saniscara: Sesayut Gni Bang Kusuma Jati/Kusuma Gandha Kusuma. 

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi secara etimologi Sapuh Leger diartikan pembersihan atau penyucian dari keadaan tercemar atau kotor. Secara keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Peristiwa penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger, secara periodi berulang pada tiap-tiap 210 hari (6 bulan pawukon kalender Bali). Wayang Sapuh Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada Lontar Kala Purana, Japa/cepa Kala, Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kekawin Sang Hyang Kala, dan Tutur Wiswa Karma

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar