HARI SUCI PAGERWESI
(Makna
Filosofi Hari Suci Pagerwesi)
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktualisasi dan realisasi
ajaran agama nampak dan tercermin dalam prilaku dan individu maupun sosial
dalam keseharian, sebab walaupun orang memiliki pengetahuan agama yang tinggi
bila keserakahan, keangkuhan dan arogansi menyelubungi seseorang, maka
pengetahuan agama tersebut hanyalah bersifat teori belaka. Ajaran agama semestinya
menjadi pegangan yang mengubah prilaku seseorang dari kurang arif menjadi arif,
dan belenggu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad atau dari pengaruh Danawa menjadi prilaku Madhawa.
Demikian secara teoritis yang
dianjurkan namun kenyataannya tidak setiap umat beragama mampu merealisasikan
seluruh ajaran agama yang demikian luhurnya dalam dalam kehidupan pribadi
maupun sisoal. Diturunkannya berbagai macam bratha
atau ajaran tentang latihan pengekangan diri oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dimaksudkan tidak lain adalah untuk
kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang berstana pada diri pribadi
seseorang. Kegelapan oleh berbagai fator terutama oleh keterikatan
terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk meningkatkan kwalitas dalam
hakekat kehidupan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pagerwesi
Kata Pagerwesi artinya
pagar dari besi. Ini melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu
yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat
gangguan atau dirusak. Hari Suci Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu
sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Tuhan yang dipuja adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang
Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa
Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam
kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti
Guru, Beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa
guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan
jadi ngawur.
Hari Suci Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha Kliwon Wuku Shinta. Hari suci ini
dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi
termasuk pula rerahinan gumi, artinya
hari suci untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam Lontar
Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon
Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek
Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana
kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya
titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Sang Purohita ngarga
apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga
samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena
ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Hakikat
pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah
lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan
meditasi (yoga dan samadhi). Banten
yang paling utama bagi para Purohita
adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten
Penek. Meskipun hakikat Hari Saya
Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun
umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita dan Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina,
Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para
pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi
umat kebanyakan.
2.2 Makna Hari Suci
Pagerwesi
Sebagaimana telah disebutkan dalam Lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha
Kliwon Shinta merupakan hari Payogan
Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata
Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru
sejati. Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang
siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah
yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati. Guru yang sejati
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu
inti dari perayaan Pagerwesi itu
adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri,
menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus
menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat
megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada Hari
Suci Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati. Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya
merupakan "pager besi"
untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sangga adalah untuk "ngawerdhiaken
sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh.". Ngawerdhiaken artinya
mengembangkan. Tumitah artinya yang
ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh
artinya tumbuh-tumbuhan. Mengembangkan
hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita
disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu: Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh)., Goraksya artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua
hewan, Wanijyam artinya perdagangan.
Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang
benar, berdasarkan dharma apabila
produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti
ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki
dharma.
Kehidupan tidak terpagari apabila tidak
berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk
apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari Suci Pagerwesi adalah hari untuk
mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru
sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa
kesombongan.
Mengembangkan pertanian dan peternakan
bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah
bila Hari Suci Pagerwesi dipandang
sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu
(pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia.
Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi
adalah hari suci yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini
dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang
dapat menjangkau vibrasi Sanghyang
Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan Beliaulah yang akan
melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat.
Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.
Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan
(widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut
satya. Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak
diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi
spiritual dari Brahman. Vibrasi
spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati.
Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga,
mapasang lingga.
Ngarga
adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat
tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan
mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci.
Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga.
Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh Lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta
harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima
manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam
menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan
lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga,
Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan
atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar"
atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup".
"Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi.
Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya
selamat atau sejahtera. Natab Sesayut
artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten
Sesayut memakai alas sesayut yang
bentuknya bundar dan maiseh dari daun
kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah
secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan
cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang
upacara Pagerwesi.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1
Hari Suci Pagerwesi adalah pemujaan Sanghyang Paramesti Guru nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang
buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang
Pramesti Guru, Beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup
tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun
3.1.2 Hari Suci Pagerwesi adalah hari suci
yang diperuntukkan sebagai hari yang baik untuk mengendalikan diri.
Om,
Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah
Krtawo Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar