Rabu, 08 April 2020

SEJARAH PURA DI BALI



PURA
(Sejarah Pura di Bali)

Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
 
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali dikenal dengan berbagai julukan diantaranya, Bali adalah pulau seribu pura (Bali the island of thousand temples) di samping itu Bali juga memiliki sebutan  Pulau Dewata (the island of god). Julukan tersebut kiranya tidak berlebihan apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dan dilandasi dengan keyakinan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Keyakinan ini muncul dari konsep Sradha (kepercayaan).
Dari Sradha atau keyakinan tersebut dibangunlah tempat pemujaan bagi Umat Hindu. “Tempat pemujaan Umat Hindu disebut dengan berbagai istilah dalam bahasa Sanskerta antara lain: mandhira, dharmasala, devalaya, devagriha, devabhawana, sivalaya, samgha, devawisma, dan di Indonesia dikenal dengan pura” (Pendit, 1995: 114). Pura merupakan salah satu simbol atau lambang alam semesta (Andhabhuwana) yang oleh Umat Hindu dipandang sebagai stananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa (manifestasi kemahakuasaan-Nya) dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). Tujuan dibangunnya pura pada prinsipnya adalah untuk mengaktualisasikan diri dari manusia itu sendiri. Ketika lahir dan hidup, manusia merasa berjarak dengan penciptanya sehingga muncul adanya rasa ketakutan, keterasingan dan kerinduan untuk menyatu kembali. Upaya-upaya untuk mengatasi hal tersebut maka pemujaan-pemujaan dilakukan kepada Para Dewa. Dan karena pemujaan tersebut dilakukan secara berkala, maka tempat yang bagus mesti harus dibuat. Sehingga dibangunlah pura yang dijadikan sebagai tempat untuk memuja dan sekaligus stana Para Dewa dan Atma Sidha Dewata (Gunarta, 2014: 11). Dalam Kitab Suci Veda diuraikan sebagai berikut:
            Prāsādam yacchiva śaktyātmakam
            tacchaktyantaih syādvisudhādyaistu tatvaih,
            śaivi mūrtih khalu devālayākhyettyasmād
            dhyeyā prathanam cābhipūjyā.

Terjemahan:
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siva, Sakti, dan kekuatan atau prisip dasar dan segala manifestasi atau wujud-Nya, dari elemen hakekat yang pokok, Prthivi sampai kepada Sakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya (Isanasivagurudevapaddhati, III. 12. 16, dalam Titib, 2001: 89-90).
Pura di Bali memiliki struktur yang didasarkan atas tiga bentuk organisasi sosial, yakni lokalitas, leluhur dan irigasi. Ketiga bentuk organisasi sosial ini bisa dianggap terpisah dan berdiri sendiri, namun aspek-aspek tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Masing-masing dari ketiga bentuk ini ditata secara hierarkis dan memiliki pura yang sesuai dengan sistem hierarkinya sendiri. Misalnya, pura yang didasarkan atas lokalitas, ditandai oleh Pura Desa Adat, pura wilayah atau regional, dan oleh pura yang berstatus milik seisi pulau disebut sebagai Pura Jagat. Struktur hierarki organisasi  irigasi ditandai dengan Pura Subak. Dalam organisasi sosial yang didasarkan leluhur mesti memiliki beragam tingkatan kelompok leluhur (subdadia, dadia, subwarga atau warga) dan nama-nama pura yang terkait (sanggah, sanggah gede/merajan, pura dadia, pura panti, pura kawitan, atau pura pedharmaan). Struktur hierarki ini merupakan ciri khas yang penting (Stuart Fox, 2010: 65). 

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pura
            Salah satu ciri utama orang beragama Hindu adalah percaya dan bhakti pada Tuhan. Secara rokhaniah orang boleh saja berbhakti pada Tuhan di mana saja dan kapan saja. Dalam mengaplikasikan keyakinan dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Umat Hindu mendirikan tempat pemujaan yang disebut pura. Kata pura berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kota atau benteng artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari  tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Seken, 2011: 92). Sedangkan penurut Gunarta (2014: 10) berpendapat “Pura (dalam bahasa Latin Templum) adalah sebuah bangunan yang digunakan untuk kegiatan religius atau spiritual, seperti sembahyang, persembahan, dan kegiatan sejenis lainnya.”
            Sebagimana dikatakan Titib (2003: 91) bahwa sebelum digunakan istilah pura sebagai tempat pemujaan atau tempat suci disebut dengan istilah Kahyangan atau Hyang. Prasasti-prasasti yang menyatakan hal ini adalah (1) Prasasti Sukawana yang merupakan prasasti dari jaman Bali kuno dan merupakan data tertua yang ditemui di Bali pada tahun 882 Masehi. (2) Prasasti Turunyan yang ditemukan pada tahun 891 Masehi ada disebutkan Sanghyang Turunyan yang artinya  tempat suci di Turunyan, dan (3) Prasasti Pura Kehen (tanpa tahun) disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api dan Hyang Tanda. yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
            “Pura pada awalnya di Bali bukan untuk menyatakan tempat suci sebagai tempat pemujaan pada Tuhan dan roh suci leluhur atau Dewa Pitara” (Wiana, 2009: 3). Pada jaman Bali kuno, dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana-istana raja disebut karaton atau kadaton. Demikianlah Lontar Usana Bali menyebutkan “…Śri Danawarāja akadatwan ing Balingkang….”. Memang ada kata pura dijumpai di dalam prasasti Bali kuno tetapi kata pura itu belum berarti  tempat suci melainkan berarti kota atau pasar, seperti kata Wijayapura artinya pasaran Wijaya. Saat pemerintahan Dinasti Śri Kresna Kepakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di kerajaan Majapahit. Kitab Nāgarakertāgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Śri Kresna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut karaton melainkan pura. Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, sehingga istilah Keraton Dalem di Samprangan disebut dengan Linggarsa Pura. Keratonnya di Gegel disebut Suwecapura dan keratonnya di Klungkung disebut Semarapura (Titib, 2001: 92-93). “Setelah kedatangan Mpu Dang Hyang Dwijendra sebagai Bhagawanta atau pendeta kerajaan mendampingi Raja Dalem Waturenggong dibidang keagamaan, pusat kerajaan tidak lagi bernama pura, namun berubah menjadi istilah puri” (Wiana, 2009: 4).
Dari arti kata pura di atas kemudian berubah makna menjadi tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi Umat Hindu baru masuk ke Bali diperkirakan pada abad ke X Masehi ditandai dengan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali yang membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata, putra dari Raja Udayana. Mpu Kuturan sebagai salah seorang rohaniawan yang datang dari Jawa Timur sekitar (1019-1042) Masehi. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali banyak membawa perubahan dalam tata keagamaan Hindu. Beliaulah yang mengajarkan membuat Kahyangan Catur Loka Phala dan Kahyangan Rwabhineda di Bali. Mpu Kuturan pulalah yang memperbesar Pura Besakih dan mendirikan Palinggih Meru serta Gedong. Pada masing-masing Desa Pakraman Mpu Kuturan juga mendirikan Kahyangan Tiga. Selain Beliau mengajarkan membuat Kahyangan secara fisik, Beliau juga mengajarkan pembuatan secara spiritual misalnya: jenis-jenis upacara, jenis-jenis padagingan sebagaimana diuraikan di dalam Lontar Devātattwa. Dalam perkembangan lebih lanjut kata pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manisfestasi-Nya) dan Bathara atau Dewapitara yaitu roh suci leluhur (Titib, 2001: 92-93). Beranjak dari peralihan istilah pura tersebut maka, istilah pura sekarang baik di Bali maupun di luar Bali berarti suatu tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya dan Atma Siddha Dewata. Dibia (1986: 4) berpendapat bahwa: “Pura adalah suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci.” Sedangkan pura menurut Sudirga (2004: 128) adalah: “Tempat suci Umat Hindu untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa selain itu pura juga merupakan benteng Umat Hindu  yang bersifat rohani agar terlepas  dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan sehari-hari.”
            Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pura di atas, maka dapat ditegaskan bahwa pura adalah bangunan suci yang berfungsi sebagi media atau tempat Umat Hindu mengadakan kontak bathin kepada sang pencipa Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa-Nya dan Atma Siddha Dewata (roh suci leluhur) sebagai rasa bhakti umat dengan segala anugrah-Nya berupa kesejahteraan, perlindungan, dan kebahagiaan hidup. Pura juga merupakan wujud nyata dari pengaplikasian ajaran Sradha dan Bhakti Umat Hindu.

2.2 Sejarah Pura
            Pura merupakan wahana yang menjembatani Bhuwana Agung sebagai stana Sang Hyang Widhi Wasa (Parama Atman) dengan Bhuwana Alit sebagai stana Sang Hyang Atma (Atman). Pura adalah lambang Bhuwana Agung (Andhabuwana), sedangkan Bhuwana Alit adalah perspektif dari Bhuwana Agung. Dua Bhuwana ini menjadi media penghubung bagi Sang Hyang Atma (Atman) dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Parama Atman). Dari kenyataan tersebut timbul naluri pada diri manusia, dengan Sang Maha Pencipta (Sang Hyang Paraning Dumadi). Oleh karenanya nenek moyang masyarakat Hindu di Bali mendirikan bangunan suci (pura) berupa punden berundag-undag, yang didasarkan atas intuisi bathinnya, pada puncak bukit ataupun lereng gunung yang Umat Hindu warisi sampai sekarang.
            Sejarah telah mencatat adanya suatu kejadian ataupun peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sejak berabad-abad silam nenek moyang masyarakat Hindu di Bali telah mengenal berbagai bentuk kepercayaan yang berhubungan terhadap kehidupan rokhaniah pada saat itu, dan mewariskan suatu bentuk keimanan dalam melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa-Nya, maupun Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur). Keimanan semacam itu diwariskan, senantiasa bertujuan untuk menjaga keharmonisan alam semesta yang disebut  Jagat Hita dan Bhuta Hita yang bertujuan untuk mendapatkan kedamaian sekala-niskala (Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma) (Seken, 2011: 94-95).
            Tentang sejarah berdirinya pura-pura di Bali seperti yang termuat dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, menyebutkan tentang terbentuknya gunung-gunung atau bukit-bukit sebagai Lingga Acala di pulau Bali (Bali Dwipa) dan Lombok (Selaparang Dwipa) serta berdirinya pura-pura atau Kahyangan pada lereng-lereng atau puncaknya, yang diciptakan oleh Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) dengan membelah Gunung Mahameru untuk dibawa ke Bali dan Lombok.
            Cerita dalam konteks Lontar atau Upa-Purana dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ketika pulau Bali dikenal dengan sebutan Bali Dwipa dan pulau Lombok disebut Selaparang Dwipa yang masih dalam keadaan kosong (duk tan hana paran-paran), keduanya masih tampak mengambang bagaikan perahu tampa kemudi di atas lautan lepas, oleng tampa arah. Ketika itu di pulau Bali ada empat buah gunung sebagai Lingga yang disebut Catur Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuhyang di bagian timur, (2) Gunung Andakasa di bagian selatan, (3) Gunung Watukaru di bagian barat, dan (4) Gunung Mangu di bagian utara. Keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih sangat labil. Kelabilan ini menyebabkan Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) menjadi sangat khawatir, kemudian Beliau memerintahkan kepada Sang Badawang Nala sebagai dasar gunung, Sang Naga Anantha Boga dan Sang Naga Basukih sebagai tali pengikatnya, serta Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, untuk memindahkan balian puncak Gunung Mahameru ke Bali Dwipa agar bumi Bali menjadi stabil. Dalam perjalanan menerbangkan bagian dari pucak Gunung Mahameru, ada bagian-bagian yang jatuh (rempak atau rubuh) dan tercecer, sehingga jadilah Gunung Batur dan gunung-gunung atau bukit-bukit kecil lainnya di pulau Bali seperti: Gunung Tapsahi, Pengelepangan, Silanjana, Bratan, Pegunungan, Naga Loka, Gunung Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Tratai Bang, Bukit Padang Dawa, Bukit Byaha, Bias Muntig, dan Gunug Sraya. Satu belahan gunung yang merupakan puncak Gunung Mahameru di tempatkan di Bali pada hari Wrespati Kliwon Wuku Merakih, yakni hari pertama bulan ke sepuluh (sasih ke dasa) tahun Çaka 11, gunung tersebut di beri nama Gunung Tohlangkir (Gunung Agung), dengan adanya penambahan dua buah gunung lagi yang besar maka Bali saat itu dikenal dengan sebutan Sad Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuhyang, (2) Gunung Andakasa, (3) Gunung Watukaru, (4) Gunung Mangu, (5) Gunung Batur, dan (7) Gunung Tohlangkir (Gunung Agung). Setelah keadaan Bali Dwipa stabil, barulah Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) yang berstana di Gunung Semeru memerintahkan tiga putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa menjadi junjungan (penyungsungan) rakyat Bali, yaitu: Hyang Genijaya, Hyang Putranjaya, dan Betari Dewi Danuh (Suarjana, 1992: 4). Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul diuraikan sebagai berikut:
Na wuwus Sanghyang Parameswara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijaya Çakti, ling ira; “Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stananta sowang-sowang, ginawe Khyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana katemu denta Gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas puncak manik, adasar ratna kopala winten, akrikil mirah, apasir podhi, ya tika, agran ira Hyang Mahameru nguni, ingsun ginawa mareng Bangsul, sun para tiganen, kang sebagai dadi Gunung Batur, maka dapur candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sebagai isornya, sundadya akna Gunung Rinjani, ikang pucuk ira dadi Hyang Tohlangkir, ngaran gunung sasor nikang Gunung Agung ika lwirnya, saka Purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, Gunung Tasahi, Kulonya Gunung Pangelengan, Kulonya Gunung Mangu, Kulonya Gunung Çilanjana, Kulonya Gunung Beratan, Kulonya  Gunung Watukaru, Kulonya mwah mwah pagunungan Nagaloka, Kulonya mwah, nga, Gunung Pulaki, Mangidul wetan sakeng rika hana Gunung Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana Gunung Andakasa, mwang Uluwatu, terus Mangetanya maring Ghneya desan ira hana Gunung Byaha, mwang Bias Muntig, ikang maring Purwa hana Gunung Lampuyang, Mangalora saka rika hana Gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring Bangsul, ndan makweh kari geger kang maring Madya, tan ucapa akna. Ika ta wenang maka ungguhaning Dharma Khyangan para Dewata kita makabehan”….
Terjemahan:
…Demikian sabda Sanghyang Parameçwara kepada putranya para Dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang Gnijaya Çakti, sabda Beliau; “Wahai anakku sekalian, kamu ku suruh datang ke daerah Bali menjaga pulau Bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat Khyangan,  sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah Bali, hal tersebut berkat yogaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk puncaknya, yang aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagi-bagiannya yang runtuh, pecahan-pecahan besar maupun kecil yang ditempatkan di daratan serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan di Bali, demikianlah anakku engkau Dewata sekalian, kamu akan jumpai Gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di sebelah timur laut, itulah sebagai gunung emas yang berpuncak manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah, berpasir padi, itulah puncaknya Hyang Mahameru dahulu, aku bawa ke Bali, aku bagi menjadi tiga, yang sebagian menjadi Gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, sebagian di bawahnya aku jadikan Gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tohlangkir, bernama Gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan di bawah Gunung Agung itu, seperti. Dari Timur menghitungnya, akan diketahui namanya, yaitu Gunung Tasahi, di Baratnya Gunung Pangelangan, di Baratnya Gunung Mangu, di Baratnya Çilanjana, di Baratnya Gunung Beratan, di Baratnya Gunung Watukaru, di Baratnya Pegunungan Nagaloka, di Baratnya lagi Gunung Pulaki, ke Tenggara dari sana terdapat Gunung Puncaksangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, kesebelah Timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan ada Gunung Andakasa dan Uluwatu, terus ke Timur di sebelah Tenggara ada Gunung Byaha dan Bias Muntig, di sebelah Timur ada Gunung Lempuyang, ke sebelah utara ada Gunung Sraya. Demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah namun tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Khyangan para Dewata kamu sekalian”…. (Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dalam Soebandi, 1983: 8-10).
            Pada tahun Çaka 27 Bali diserang musibah, hujan lebat turun diikuti oleh angin ribut dan petir yang tak henti-hentinya, akhirnya terjadi gempa bumi diiringi suara gemuruh. Setelah dua bulan hujan tak henti-hentinya, Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) meletus mengeluarkan air Salodaka (Sugriwa, 1957: 1-3). Di dalam Babad Pasek diuraikan sebagai berikut:
            …malawas-lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih, tahun icaka 113, malih makeplug hyangning tohlangkir, mijil Bhatara Putranjaya tumut arin Ida Betari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh, aprahyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aprahyangan maring Giri Lempuhyang. Duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de Bhatara Pasupati: “kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, age lah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”. Mangkana andika Bhatara Pasupati, neher matilar Bhatara Tiga, anging hana atur ira: “singgih Hyang Bhatara dening nanak rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahur Bhatara Pasupati, ling ira: “aja walat hati hulun lugraha maka awantha, apan kita anak manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput Bhatara Tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pasupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara awetning takya ajnanan, wus mangkana pawijilan Bhatara nguni….
Terjemahan:
            …lama kelamaan dunia ini berumur 70 tahun, pada hari Sukra Kliwon, Wara Tolu, sasih Kalima tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar menyambung, gempa bumi selama 2 bulan, tahun icaka 133 (tahun 191 masehi) lagi meletus Gunung Agung tersebut, keluar Bhatara Putranjaya, diikuti adik Beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh , berstana di Hulun Danu sedangkan Bhatara Gnijaya berstana di Gunung Lempuhyang. Tatkala berangkat Bhatara Tiga diperintahkan oleh Bhatara Pasupati: “kamu Mahadewa dan Danuh, Gnijaya, segera kalian ku perintahkan sekarang juga, datang ke pulau Bali, supaya pulau Bali menjadi stabil, kalian sebagai pemimpin Bali”, demikan sabda Bhatara Pasupati, sebelum Bhatara Tiga berangkat mereka bertanya: “ya Hyang Bhatara oleh karena putra Rahadyan masih anak-anak, belum pada mengetahui jalan”, demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pasupati, sabda Beliau: “jangan susah hati akan ku berikan petunjuk jalan, sebab kalian anakku jungjunglah (terimalah) olehmu untuk dimuliakan di Bali”, sesudah demikian, lalu dibungkus Bhatara Tiga dengan kelapa gading oleh Bhatara Pasupati, setelah dibungkus digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan bhatin dan sesudah itu berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan Beliau, demikian tibanya Bhatara dahulu….(Babad Pasek dalam Soebandi, 1983: 6-8).
            Selanjutnya Sang Hyang Pasepati kembali mengutus empat putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa dengan tujuan agar Bali Dwipa benar-benar stabil dan sempurna, diantaranya yaitu, Hyang Tumuwuh agar berstana di Gunung Watukaru, Hyang Manik Gumawang agar berstana di Gunung Mangu, Hyang Manik Galang agar berstana di Pejeng, dan Hyang Tugunatha agar berstana di Gunung Andakasa. Maka sejak itu pulau Bali dikenal memiliki tujuh buah pemujaan (penyungsungan) di puncak gunung sebagai Lingga atau stana Para Dewa yang disebut Sapta Lingga Giri. Kemudian disusul oleh Para Dewa lainnya untuk berstana pada gunung dan tepi laut, seperti: Dewa-dewa Loka Phala, Dewa Rsi, Tri Dewata, Panca Dewata, Sad Dewata, dan Dewa  Nawasanġa, antara lain: Hyang Brahma, Hyang Wisnu, Hyang Indra, Hyang Sambhu, Hyang Nara Kresna, Hyang Sumarma di Gunung atau Bukit Uluwatu, Hyang Bajramurti di Gunung Rinjani, Hyang Danawa di Gunung Mangu, begitu pula Bhagawan Karsika, Bhagawan Kurusya, Bhagawan Garga, Bhagawan Cakru, Bhagawan Maitri, dan Bhagawan Pretanjala, yang berjasa sehingga keadaan pulau Bali dan Lombok menjadi stabil (Catra, 1998: 3-8).
            Menurut konsep Rwabhineda, dibangunya pura-pura (Khayangan) di Bali sebagai stana Para Dewa adalah merupakan perspektif dari pertemuan Purusa dan Pradhana yang berasal dari yoga Brahman yang disebut juga Sang Hyang Widhi, dan terciptalah Sang Hyang Licin yang disebut juga Sang Hyang Eka Aksara yakni Ongkara. Sang Hyang Eka Aksara beryoga terciptalah Sang Hyang Purusa Pradhana yang disebut juga Sang Hyang Akasa dan Prathiwi, yang kemudian disebut Sang Hyang Rwabhineda (Ang dan Ah, Adha dan Urdhah), yang juga merupakan perwujudan Siwa-Buddha. Dari yoga Sang Hyang Rwabhineda maka lahirlah Sang Hyang Tri Purusa yaitu Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa, dalam wujud aksara disebut Sang Hyang Tri Aksara yaitu: Ang, Ung ,Mang, yang selanjutnya menjadi lambang dari Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga manisfestasi Tuhan inilah yang kemudian menciptakan alam semesta beserta isinya (Uttpeti), memeliharanya (Stithi), seta mengembalikannya ke alam asalnya (Pralina). Konsepsi ini menggambarkan lambang Purusa, sedangkan laut (segara), danau (danu), dan sungai (tukad) sebagai lambang Pradhana, seperti termuat dalam (Lontar Padma Bhuwana pada lembar 3a-3b, dalam Samba, 1984: 1) sebagai berikut:
…Matangnian iti saking pagelaring sastra, panca brahma, mwang pancaksra, dadi ta sira pradhana-purusa tattwa, ikang panca brahma dadi pradhana tattwa, ikang pancaksara dadi purusa tattwa, mangkana katattwania. Ika matangnian ikang dewata kalih mapralingga tungtung lawan bungkah, sang ksepania, rumaga Siwa kalawan Budha, ring wahya pada. Jatinia mawak tunggal, maka wisesaning bumi kali kabeh, maka lingga Sang Hyang Widhi, yan ring sastra, ring Siwa tattwa Om kara sira, yan ring Budha tattwa Hrih pwa sira, ro rumaga tunggal, tuggal rumawak ro rwa....                              
Terjemahan:
…Tersebutlah seperti yang tercantum dalam satra, yang dinamakan Panca Brahma dan Panca-aksara, terwujudlah Pradhana dan Purusa tattwa, Panca Brahma menjadi Pradhana tattwa, sedangkan Panca-aksara menjadi Purusa tattwa, demikianlah ceritanya. Hal itulah menyebabkan Dewata pempunyai perspektif awal dan akhir (tungtung dan bungkah), Dewata berwujud Siwa dan Budha, di dunia skala yang sebenarnya adalah satu (tunggal), yang menjadi junjungan Bali sebagai stana Sang Hyang Widhi, kalau dalam sastra, Siwa tattwa berupa Om kara, sedangkan Buddha tattwa berupa Hrih, dan menjadi satu , satu berwujud dua….
            Menurut konsepsi Sad Winayaka menyebutkan setelah keadaan pulau Bali menjadi stabil, yang dimaksud Sad Winayaka adalah Sad Prahyangan yaitu pura-pura Sad Khyangan Jagat sebagai tempat pemujaan bagi Umat Hindu di Bali, untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam segala prabhawa-Nya. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul lembar 16a-16b disebutkan sebagai berikut:
…nyata pada mapangande, lan sama soang, matemahan saddarsana maka pangastutyaning Sang Hyang Sarwa Dewa, ya Sad Khyangan ngaranira, marupa ta ya sastighana, ingaranan Hyang Sad Winayaka….
Terjemahan:
…Demikianlah semua mempunyai prabhawa (manifestasi) serta tugas masing-masing adanya Sad Darsana sebagai tempat pemujaan dari para Dewa, itulah Sad Khyangan namanya, berupa tempat pemujaan yang juga disebut Sad Winayaka….(Catra, 1998: 8).
Berdasarkan atas kosepsi-konsepsi itulah leluhur masyarakat Bali sejak berabad-abad silam mendirikan bangunan tempat suci (pura) yang di dasarkan atas intuisi bhatinnya pada lereng atau puncak bukit/gunung seperti yang Umat Hindu warisi sampai sekarang. \ Oleh karenanya apa yang terwarisi sampai sekarang dimana pulau Bali dibentangi atau dikelilingi ribuan pura dalam fungsi dan statusnya yang berbeda-beda. Sehingga sekarang Bali lebih terkenal dengan sebutan Pulau Dewata.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 pura adalah bangunan suci yang berfungsi sebagi media atau tempat Umat Hindu mengadakan kontak bathin kepada sang pencipa Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa-Nya dan Atma Siddha Dewata (roh suci leluhur) sebagai rasa bhakti umat dengan segala anugrah-Nya berupa kesejahteraan, perlindungan, dan kebahagiaan hidup. Pura juga merupakan wujud nyata dari pengaplikasian ajaran Sradha dan Bhakti Umat Hindu.
3.1.2 Tentang sejarah berdirinya pura-pura di Bali seperti yang termuat dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, menyebutkan tentang terbentuknya gunung-gunung atau bukit-bukit sebagai Lingga Acala di pulau Bali (Bali Dwipa) dan Lombok (Selaparang Dwipa) serta berdirinya pura-pura atau Kahyangan pada lereng-lereng atau puncaknya, yang diciptakan oleh Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) dengan membelah Gunung Mahameru untuk dibawa ke Bali dan Lombok.

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar