PURA
(Sejarah
Pura di Bali)
Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali dikenal dengan berbagai julukan
diantaranya, Bali adalah pulau seribu pura (Bali
the island of thousand temples) di samping itu Bali juga memiliki
sebutan Pulau Dewata (the island of god). Julukan tersebut
kiranya tidak berlebihan apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Bali
yang mayoritas beragama Hindu dan dilandasi dengan keyakinan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang
Maha Esa). Keyakinan ini muncul dari konsep Sradha
(kepercayaan).
Dari Sradha atau
keyakinan tersebut dibangunlah tempat pemujaan bagi Umat Hindu. “Tempat
pemujaan Umat Hindu disebut dengan berbagai istilah dalam bahasa Sanskerta
antara lain: mandhira, dharmasala, devalaya, devagriha, devabhawana, sivalaya, samgha, devawisma, dan di Indonesia dikenal
dengan pura” (Pendit, 1995: 114). Pura merupakan salah satu simbol atau lambang
alam semesta (Andhabhuwana) yang oleh
Umat Hindu dipandang sebagai stananya Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa
(manifestasi kemahakuasaan-Nya) dan Atma
Sidha Dewata (roh suci leluhur). Tujuan dibangunnya pura pada prinsipnya
adalah untuk mengaktualisasikan diri dari manusia itu sendiri. Ketika lahir dan
hidup, manusia merasa berjarak dengan penciptanya sehingga muncul adanya rasa
ketakutan, keterasingan dan kerinduan untuk menyatu kembali. Upaya-upaya untuk
mengatasi hal tersebut maka pemujaan-pemujaan dilakukan kepada Para Dewa. Dan karena pemujaan tersebut
dilakukan secara berkala, maka tempat yang bagus mesti harus dibuat. Sehingga
dibangunlah pura yang dijadikan sebagai tempat untuk memuja dan sekaligus stana
Para Dewa dan Atma Sidha Dewata (Gunarta, 2014: 11). Dalam Kitab Suci Veda diuraikan sebagai berikut:
Prāsādam yacchiva
śaktyātmakam
tacchaktyantaih
syādvisudhādyaistu tatvaih,
śaivi mūrtih khalu
devālayākhyettyasmād
dhyeyā prathanam
cābhipūjyā.
Terjemahan:
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siva, Sakti,
dan kekuatan atau prisip dasar dan segala manifestasi atau wujud-Nya, dari
elemen hakekat yang pokok, Prthivi
sampai kepada Sakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan
memuja-Nya (Isanasivagurudevapaddhati, III. 12. 16, dalam Titib, 2001: 89-90).
Pura di Bali memiliki struktur yang didasarkan atas
tiga bentuk organisasi sosial, yakni lokalitas, leluhur dan irigasi. Ketiga
bentuk organisasi sosial ini bisa dianggap terpisah dan berdiri sendiri, namun
aspek-aspek tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Masing-masing
dari ketiga bentuk ini ditata secara hierarkis dan memiliki pura yang sesuai
dengan sistem hierarkinya sendiri. Misalnya, pura yang didasarkan atas
lokalitas, ditandai oleh Pura Desa Adat,
pura wilayah atau regional, dan oleh pura yang berstatus milik seisi pulau
disebut sebagai Pura Jagat. Struktur
hierarki organisasi irigasi ditandai
dengan Pura Subak. Dalam organisasi
sosial yang didasarkan leluhur mesti memiliki beragam tingkatan kelompok
leluhur (subdadia, dadia, subwarga atau warga) dan
nama-nama pura yang terkait (sanggah,
sanggah gede/merajan, pura dadia, pura panti, pura kawitan,
atau pura pedharmaan). Struktur
hierarki ini merupakan ciri khas yang penting (Stuart Fox, 2010: 65).
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pura
Salah satu ciri utama orang beragama
Hindu adalah percaya dan bhakti pada
Tuhan. Secara rokhaniah orang boleh saja berbhakti pada Tuhan di mana saja dan
kapan saja. Dalam mengaplikasikan keyakinan dan bhakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, Umat Hindu mendirikan tempat pemujaan yang disebut pura. Kata
pura berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti kota atau benteng artinya tempat yang dibuat khusus dengan
dipagari tembok untuk mengadakan kontak
dengan kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Seken, 2011: 92). Sedangkan penurut Gunarta (2014: 10) berpendapat
“Pura (dalam bahasa Latin Templum)
adalah sebuah bangunan yang digunakan untuk kegiatan religius atau spiritual,
seperti sembahyang, persembahan, dan kegiatan sejenis lainnya.”
Sebagimana dikatakan Titib (2003:
91) bahwa sebelum digunakan istilah pura sebagai tempat pemujaan atau tempat
suci disebut dengan istilah Kahyangan atau
Hyang. Prasasti-prasasti yang
menyatakan hal ini adalah (1) Prasasti
Sukawana yang merupakan prasasti dari jaman Bali kuno dan merupakan data
tertua yang ditemui di Bali pada tahun 882 Masehi. (2) Prasasti Turunyan yang ditemukan pada tahun 891 Masehi ada
disebutkan Sanghyang Turunyan yang
artinya tempat suci di Turunyan, dan (3)
Prasasti Pura Kehen (tanpa tahun)
disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimana,
Hyang Api dan Hyang Tanda. yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa
Tanda.
“Pura pada awalnya di Bali bukan
untuk menyatakan tempat suci sebagai tempat pemujaan pada Tuhan dan roh suci
leluhur atau Dewa Pitara” (Wiana,
2009: 3). Pada jaman Bali kuno, dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem di
Bali, istana-istana raja disebut karaton
atau kadaton. Demikianlah Lontar Usana Bali menyebutkan “…Śri Danawarāja akadatwan ing Balingkang….”.
Memang ada kata pura dijumpai di dalam prasasti Bali kuno tetapi kata pura itu
belum berarti tempat suci melainkan
berarti kota atau pasar, seperti kata Wijayapura artinya pasaran Wijaya.
Saat pemerintahan Dinasti Śri Kresna
Kepakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di kerajaan Majapahit. Kitab
Nāgarakertāgama 73.3 menyebutkan
bahwa apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Śri Kresna Kapakisan. Salah satu contoh
terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut karaton melainkan pura.
Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura
yang berarti rumahnya Gajah Mada, sehingga istilah Keraton Dalem di Samprangan disebut dengan Linggarsa Pura. Keratonnya di Gegel disebut Suwecapura dan keratonnya di Klungkung disebut Semarapura (Titib, 2001: 92-93). “Setelah kedatangan Mpu Dang Hyang Dwijendra sebagai Bhagawanta atau pendeta kerajaan
mendampingi Raja Dalem Waturenggong dibidang keagamaan, pusat kerajaan tidak
lagi bernama pura, namun berubah menjadi istilah puri” (Wiana, 2009: 4).
Dari arti kata pura di atas kemudian berubah makna menjadi tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi Umat Hindu baru
masuk ke Bali diperkirakan pada abad ke X Masehi ditandai dengan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali yang membawa perubahan
besar dalam tata keagamaan di Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata, putra dari Raja
Udayana. Mpu Kuturan sebagai
salah seorang rohaniawan yang datang dari Jawa Timur sekitar (1019-1042) Masehi.
Kedatangan Mpu Kuturan di Bali banyak
membawa perubahan dalam tata keagamaan Hindu. Beliaulah yang mengajarkan
membuat Kahyangan Catur Loka Phala
dan Kahyangan Rwabhineda di Bali. Mpu Kuturan pulalah yang memperbesar
Pura Besakih dan mendirikan Palinggih
Meru serta Gedong. Pada
masing-masing Desa Pakraman Mpu Kuturan
juga mendirikan Kahyangan Tiga. Selain
Beliau mengajarkan membuat Kahyangan
secara fisik, Beliau juga mengajarkan pembuatan secara spiritual misalnya:
jenis-jenis upacara, jenis-jenis padagingan
sebagaimana diuraikan di dalam Lontar Devātattwa.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala
manisfestasi-Nya) dan Bathara atau Dewapitara yaitu roh suci leluhur
(Titib, 2001: 92-93). Beranjak dari peralihan istilah pura tersebut maka,
istilah pura sekarang baik di Bali maupun di luar Bali berarti suatu tempat
suci untuk memuja Hyang Widhi dalam
segala Prabhawa-Nya dan Atma Siddha Dewata. Dibia (1986: 4)
berpendapat bahwa: “Pura adalah suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia
kesucian dengan dikelilingi oleh tembok atau pagar untuk memisahkan dengan
dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci.” Sedangkan pura menurut Sudirga
(2004: 128) adalah: “Tempat suci Umat Hindu untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa selain itu pura juga merupakan benteng
Umat Hindu yang bersifat rohani agar
terlepas dari pengaruh-pengaruh yang
kurang baik dalam kehidupan sehari-hari.”
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pura di atas, maka
dapat ditegaskan bahwa pura adalah bangunan suci yang berfungsi sebagi media
atau tempat Umat Hindu mengadakan kontak bathin
kepada sang pencipa Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dengan segala Prabhawa-Nya
dan Atma Siddha Dewata (roh suci
leluhur) sebagai rasa bhakti umat
dengan segala anugrah-Nya berupa kesejahteraan, perlindungan, dan kebahagiaan
hidup. Pura juga merupakan wujud nyata dari pengaplikasian ajaran Sradha dan Bhakti Umat Hindu.
2.2 Sejarah Pura
Pura
merupakan wahana yang menjembatani Bhuwana
Agung sebagai stana Sang Hyang Widhi
Wasa (Parama Atman) dengan Bhuwana Alit sebagai stana Sang Hyang Atma (Atman). Pura adalah lambang Bhuwana
Agung (Andhabuwana), sedangkan Bhuwana Alit adalah perspektif dari Bhuwana Agung. Dua Bhuwana ini menjadi media penghubung bagi Sang Hyang Atma (Atman)
dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Parama Atman). Dari kenyataan tersebut
timbul naluri pada diri manusia, dengan Sang Maha Pencipta (Sang Hyang Paraning Dumadi). Oleh karenanya
nenek moyang masyarakat Hindu di Bali mendirikan bangunan suci (pura) berupa
punden berundag-undag, yang didasarkan atas intuisi bathinnya, pada puncak
bukit ataupun lereng gunung yang Umat Hindu warisi sampai sekarang.
Sejarah telah mencatat adanya
suatu kejadian ataupun peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
Sejak berabad-abad silam nenek moyang masyarakat Hindu di Bali telah mengenal
berbagai bentuk kepercayaan yang berhubungan terhadap kehidupan rokhaniah pada
saat itu, dan mewariskan suatu bentuk keimanan dalam melakukan pemujaan
terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dalam
segala prabhawa-Nya, maupun Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
Keimanan semacam itu diwariskan, senantiasa bertujuan untuk menjaga
keharmonisan alam semesta yang disebut Jagat Hita dan Bhuta Hita yang
bertujuan untuk mendapatkan kedamaian sekala-niskala
(Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma)
(Seken, 2011: 94-95).
Tentang
sejarah berdirinya pura-pura di Bali seperti yang termuat dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul,
menyebutkan tentang terbentuknya gunung-gunung atau bukit-bukit sebagai Lingga Acala di pulau Bali (Bali Dwipa)
dan Lombok (Selaparang Dwipa) serta berdirinya pura-pura atau Kahyangan pada lereng-lereng atau
puncaknya, yang diciptakan oleh Bhatara
Hyang Pasupati (Sang Hyang
Parameswara) dengan membelah Gunung Mahameru untuk dibawa ke Bali dan
Lombok.
Cerita
dalam konteks Lontar atau Upa-Purana
dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ketika pulau Bali dikenal dengan sebutan Bali Dwipa dan pulau Lombok disebut Selaparang Dwipa yang masih dalam
keadaan kosong (duk tan hana paran-paran),
keduanya masih tampak mengambang bagaikan perahu tampa kemudi di atas lautan
lepas, oleng tampa arah. Ketika itu di pulau Bali ada empat buah gunung sebagai
Lingga yang disebut Catur Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung
Lempuhyang di bagian timur, (2) Gunung Andakasa di bagian selatan, (3) Gunung
Watukaru di bagian barat, dan (4) Gunung Mangu di bagian utara. Keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih sangat
labil. Kelabilan ini menyebabkan Bhatara
Hyang Pasupati (Sang Hyang
Parameswara) menjadi sangat khawatir, kemudian Beliau memerintahkan kepada Sang Badawang Nala sebagai dasar gunung,
Sang Naga Anantha Boga dan Sang Naga Basukih sebagai tali
pengikatnya, serta Sang Naga Taksaka
yang menerbangkannya, untuk memindahkan balian puncak Gunung Mahameru ke Bali Dwipa agar bumi Bali menjadi
stabil. Dalam perjalanan menerbangkan bagian dari pucak Gunung Mahameru, ada
bagian-bagian yang jatuh (rempak atau rubuh) dan tercecer, sehingga jadilah
Gunung Batur dan gunung-gunung atau bukit-bukit kecil lainnya di pulau Bali
seperti: Gunung Tapsahi, Pengelepangan, Silanjana, Bratan, Pegunungan, Naga
Loka, Gunung Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Tratai Bang, Bukit Padang
Dawa, Bukit Byaha, Bias Muntig, dan Gunug Sraya. Satu belahan gunung yang
merupakan puncak Gunung Mahameru di tempatkan di Bali pada hari Wrespati Kliwon Wuku Merakih, yakni hari
pertama bulan ke sepuluh (sasih ke dasa)
tahun Çaka 11, gunung tersebut di
beri nama Gunung Tohlangkir (Gunung Agung), dengan adanya penambahan dua buah
gunung lagi yang besar maka Bali saat itu dikenal dengan sebutan Sad Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung
Lempuhyang, (2) Gunung Andakasa, (3) Gunung Watukaru, (4) Gunung Mangu, (5)
Gunung Batur, dan (7) Gunung Tohlangkir (Gunung Agung). Setelah keadaan Bali
Dwipa stabil, barulah Bhatara Hyang
Pasupati (Sang Hyang Parameswara)
yang berstana di Gunung Semeru memerintahkan tiga putra Beliau untuk pergi ke
Bali Dwipa menjadi junjungan (penyungsungan) rakyat Bali, yaitu: Hyang Genijaya, Hyang Putranjaya, dan Betari
Dewi Danuh (Suarjana, 1992: 4). Dalam Lontar
Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul diuraikan
sebagai berikut:
…Na wuwus Sanghyang Parameswara ri tanayan ira para watek Dewata
samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijaya Çakti, ling ira; “Aum ranak mami ri
kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang
Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih
ikang gunung maka stananta sowang-sowang, ginawe Khyangan, wuwus hana
gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang
ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul,
Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun
waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul
agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang
pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana
katemu denta Gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung
mas puncak manik, adasar ratna kopala winten, akrikil mirah, apasir podhi, ya
tika, agran ira Hyang Mahameru nguni, ingsun ginawa mareng Bangsul, sun para
tiganen, kang sebagai dadi Gunung Batur, maka dapur candi Hyang Agni siring
pratiwi tala, ikang sebagai isornya, sundadya akna Gunung Rinjani, ikang pucuk
ira dadi Hyang Tohlangkir, ngaran gunung sasor nikang Gunung Agung ika lwirnya,
saka Purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, Gunung Tasahi, Kulonya Gunung
Pangelengan, Kulonya Gunung Mangu, Kulonya Gunung Çilanjana, Kulonya Gunung
Beratan, Kulonya Gunung Watukaru,
Kulonya mwah mwah pagunungan Nagaloka, Kulonya mwah, nga, Gunung Pulaki,
Mangidul wetan sakeng rika hana Gunung Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate
Bang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana Gunung
Andakasa, mwang Uluwatu, terus Mangetanya maring Ghneya desan ira hana Gunung
Byaha, mwang Bias Muntig, ikang maring Purwa hana Gunung Lampuyang, Mangalora
saka rika hana Gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring
Bangsul, ndan makweh kari geger kang maring Madya, tan ucapa akna. Ika ta
wenang maka ungguhaning Dharma Khyangan para Dewata kita makabehan”….
Terjemahan:
…Demikian sabda Sanghyang
Parameçwara kepada putranya para Dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang
Gnijaya Çakti, sabda Beliau; “Wahai
anakku sekalian, kamu ku suruh datang ke daerah Bali menjaga pulau Bali, lalu
kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai
tempat tinggalmu masing-masing, membuat Khyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah
Bali, hal tersebut berkat yogaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku
tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong
pertengahan termasuk puncaknya, yang aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak
bagi-bagiannya yang runtuh, pecahan-pecahan besar maupun kecil yang ditempatkan
di daratan serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan di Bali, demikianlah
anakku engkau Dewata sekalian, kamu akan jumpai Gunung Agung, sebagai tanda
gunung besar, di sebelah timur laut, itulah sebagai gunung emas yang berpuncak
manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah, berpasir padi, itulah puncaknya
Hyang Mahameru dahulu, aku bawa ke Bali, aku bagi menjadi tiga, yang sebagian
menjadi Gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya,
sebagian di bawahnya aku jadikan Gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang
Tohlangkir, bernama Gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan di
bawah Gunung Agung itu, seperti. Dari Timur menghitungnya, akan diketahui
namanya, yaitu Gunung Tasahi, di Baratnya Gunung Pangelangan, di Baratnya
Gunung Mangu, di Baratnya Çilanjana, di Baratnya Gunung Beratan, di Baratnya
Gunung Watukaru, di Baratnya Pegunungan Nagaloka, di Baratnya lagi Gunung
Pulaki, ke Tenggara dari sana terdapat Gunung Puncaksangkur, Bukit Rangda,
Trate Bang, kesebelah Timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan ada
Gunung Andakasa dan Uluwatu, terus ke Timur di sebelah Tenggara ada Gunung
Byaha dan Bias Muntig, di sebelah Timur ada Gunung Lempuyang, ke sebelah utara
ada Gunung Sraya. Demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih
banyak gundukan yang di tengah namun tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai
tempat tinggal membuat Khyangan para Dewata kamu sekalian”…. (Lontar Kutara
Kanda Dewa Purana Bangsul dalam Soebandi, 1983: 8-10).
Pada
tahun Çaka 27 Bali diserang musibah,
hujan lebat turun diikuti oleh angin ribut dan petir yang tak henti-hentinya,
akhirnya terjadi gempa bumi diiringi suara gemuruh. Setelah dua bulan hujan tak
henti-hentinya, Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) meletus mengeluarkan air Salodaka (Sugriwa, 1957: 1-3). Di dalam Babad Pasek diuraikan sebagai berikut:
…malawas-lawas
ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih kalima, tang ping 5, rah
panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih, tahun
icaka 113, malih makeplug hyangning tohlangkir, mijil Bhatara Putranjaya tumut
arin Ida Betari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa,
arine Bhatari Dewi Danuh, aprahyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya
aprahyangan maring Giri Lempuhyang. Duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de
Bhatara Pasupati: “kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, age lah ta kita ku kinon
samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka
panghuluning Bali”. Mangkana andika Bhatara Pasupati, neher matilar Bhatara
Tiga, anging hana atur ira: “singgih Hyang Bhatara dening nanak rahadyan
Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga.
Sumahur Bhatara Pasupati, ling ira: “aja walat hati hulun lugraha maka awantha,
apan kita anak manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus
samangkana, raris sinaput Bhatara Tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara
Pasupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara awetning takya ajnanan, wus
mangkana pawijilan Bhatara nguni….
Terjemahan:
…lama kelamaan dunia ini berumur 70
tahun, pada hari Sukra Kliwon, Wara Tolu, sasih Kalima tanggal ping 5, rah
panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar menyambung, gempa bumi
selama 2 bulan, tahun icaka 133
(tahun 191 masehi) lagi meletus Gunung Agung tersebut, keluar Bhatara Putranjaya, diikuti adik Beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih
dengan bergelar Bhatara Mahadewa,
adiknya Bhatari Dewi Danuh , berstana
di Hulun Danu sedangkan Bhatara Gnijaya berstana di Gunung
Lempuhyang. Tatkala berangkat Bhatara
Tiga diperintahkan oleh Bhatara
Pasupati: “kamu Mahadewa dan Danuh,
Gnijaya, segera kalian ku perintahkan sekarang juga, datang ke pulau Bali,
supaya pulau Bali menjadi stabil, kalian sebagai pemimpin Bali”, demikan sabda Bhatara Pasupati, sebelum Bhatara
Tiga berangkat mereka bertanya: “ya
Hyang Bhatara oleh karena putra Rahadyan masih anak-anak, belum pada mengetahui
jalan”, demikian atur Bhatara Tiga.
Dijawab oleh Bhatara Pasupati, sabda
Beliau: “jangan susah hati akan ku
berikan petunjuk jalan, sebab kalian anakku jungjunglah (terimalah) olehmu
untuk dimuliakan di Bali”, sesudah demikian, lalu dibungkus Bhatara Tiga dengan kelapa gading oleh Bhatara Pasupati, setelah dibungkus digaibkan oleh Bhatara,
dengan kekuatan bhatin dan sesudah itu berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan Beliau, demikian tibanya Bhatara dahulu….(Babad Pasek dalam
Soebandi, 1983: 6-8).
Selanjutnya
Sang Hyang Pasepati kembali mengutus
empat putra Beliau untuk pergi ke Bali
Dwipa dengan tujuan agar Bali Dwipa
benar-benar stabil dan sempurna, diantaranya yaitu, Hyang Tumuwuh agar berstana di Gunung Watukaru, Hyang Manik Gumawang agar berstana di
Gunung Mangu, Hyang Manik Galang agar
berstana di Pejeng, dan Hyang Tugunatha
agar berstana di Gunung Andakasa. Maka sejak itu pulau Bali dikenal memiliki
tujuh buah pemujaan (penyungsungan)
di puncak gunung sebagai Lingga atau
stana Para Dewa yang disebut Sapta Lingga
Giri. Kemudian disusul oleh Para Dewa lainnya untuk berstana pada gunung
dan tepi laut, seperti: Dewa-dewa Loka
Phala, Dewa Rsi, Tri Dewata, Panca Dewata, Sad Dewata,
dan Dewa
Nawasanġa, antara lain: Hyang
Brahma, Hyang Wisnu, Hyang Indra, Hyang Sambhu, Hyang Nara
Kresna, Hyang Sumarma di Gunung
atau Bukit Uluwatu, Hyang Bajramurti
di Gunung Rinjani, Hyang Danawa di
Gunung Mangu, begitu pula Bhagawan
Karsika, Bhagawan Kurusya, Bhagawan Garga, Bhagawan Cakru, Bhagawan
Maitri, dan Bhagawan Pretanjala,
yang berjasa sehingga keadaan pulau Bali dan Lombok menjadi stabil (Catra,
1998: 3-8).
Menurut
konsep Rwabhineda, dibangunya
pura-pura (Khayangan) di Bali sebagai
stana Para Dewa adalah merupakan perspektif dari pertemuan Purusa dan Pradhana yang
berasal dari yoga Brahman yang
disebut juga Sang Hyang Widhi, dan
terciptalah Sang Hyang Licin yang
disebut juga Sang Hyang Eka Aksara
yakni Ongkara. Sang Hyang Eka Aksara beryoga terciptalah Sang Hyang Purusa Pradhana
yang disebut juga Sang Hyang Akasa
dan Prathiwi, yang kemudian disebut Sang Hyang Rwabhineda (Ang dan Ah, Adha dan Urdhah), yang juga merupakan perwujudan Siwa-Buddha. Dari yoga Sang Hyang Rwabhineda maka lahirlah Sang Hyang Tri Purusa yaitu Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa,
dalam wujud aksara disebut Sang Hyang Tri
Aksara yaitu: Ang, Ung ,Mang,
yang selanjutnya menjadi lambang dari Dewa
Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga manisfestasi Tuhan inilah
yang kemudian menciptakan alam semesta beserta isinya (Uttpeti), memeliharanya (Stithi),
seta mengembalikannya ke alam asalnya (Pralina).
Konsepsi ini menggambarkan lambang Purusa,
sedangkan laut (segara), danau (danu), dan sungai (tukad) sebagai lambang Pradhana,
seperti termuat dalam (Lontar Padma
Bhuwana pada lembar 3a-3b, dalam Samba, 1984: 1) sebagai berikut:
…Matangnian iti saking pagelaring sastra, panca brahma, mwang
pancaksra, dadi ta sira pradhana-purusa tattwa, ikang panca brahma dadi
pradhana tattwa, ikang pancaksara dadi purusa tattwa, mangkana katattwania. Ika
matangnian ikang dewata kalih mapralingga tungtung lawan bungkah, sang
ksepania, rumaga Siwa kalawan Budha, ring wahya pada. Jatinia mawak tunggal,
maka wisesaning bumi kali kabeh, maka lingga Sang Hyang Widhi, yan ring sastra,
ring Siwa tattwa Om kara sira, yan ring Budha tattwa Hrih pwa sira, ro rumaga
tunggal, tuggal rumawak ro rwa....
Terjemahan:
…Tersebutlah seperti yang
tercantum dalam satra, yang dinamakan Panca
Brahma dan Panca-aksara,
terwujudlah Pradhana dan Purusa tattwa, Panca Brahma menjadi Pradhana
tattwa, sedangkan Panca-aksara
menjadi Purusa tattwa, demikianlah
ceritanya. Hal itulah menyebabkan Dewata
pempunyai perspektif awal dan akhir (tungtung
dan bungkah), Dewata berwujud Siwa dan Budha, di dunia skala yang sebenarnya adalah satu (tunggal), yang menjadi junjungan
Bali sebagai stana Sang Hyang Widhi,
kalau dalam sastra, Siwa tattwa
berupa Om kara, sedangkan Buddha tattwa berupa Hrih, dan menjadi satu , satu berwujud
dua….
Menurut
konsepsi Sad Winayaka menyebutkan
setelah keadaan pulau Bali menjadi stabil, yang dimaksud Sad Winayaka adalah Sad
Prahyangan yaitu pura-pura Sad
Khyangan Jagat sebagai tempat pemujaan bagi Umat Hindu di Bali, untuk
memuja Sang Hyang Widhi dalam segala prabhawa-Nya. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul lembar 16a-16b disebutkan
sebagai berikut:
…nyata pada mapangande, lan sama soang, matemahan saddarsana maka
pangastutyaning Sang Hyang Sarwa Dewa, ya Sad Khyangan ngaranira, marupa ta ya
sastighana, ingaranan Hyang Sad Winayaka….
Terjemahan:
…Demikianlah semua mempunyai
prabhawa (manifestasi) serta tugas
masing-masing adanya Sad Darsana
sebagai tempat pemujaan dari para Dewa,
itulah Sad Khyangan namanya, berupa
tempat pemujaan yang juga disebut Sad
Winayaka….(Catra, 1998: 8).
Berdasarkan atas
kosepsi-konsepsi itulah leluhur masyarakat Bali sejak berabad-abad silam
mendirikan bangunan tempat suci (pura) yang di dasarkan atas intuisi bhatinnya
pada lereng atau puncak bukit/gunung seperti yang Umat Hindu warisi sampai
sekarang. \ Oleh karenanya apa yang terwarisi sampai sekarang dimana pulau Bali
dibentangi atau dikelilingi ribuan pura dalam fungsi dan statusnya yang
berbeda-beda. Sehingga sekarang Bali lebih terkenal dengan sebutan Pulau Dewata.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 pura adalah bangunan suci
yang berfungsi sebagi media atau tempat Umat Hindu mengadakan kontak bathin kepada sang pencipa Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa-Nya dan Atma Siddha Dewata (roh suci leluhur) sebagai rasa bhakti umat dengan segala anugrah-Nya
berupa kesejahteraan, perlindungan, dan kebahagiaan hidup. Pura juga
merupakan wujud nyata dari pengaplikasian ajaran Sradha dan Bhakti Umat
Hindu.
3.1.2 Tentang sejarah berdirinya pura-pura di Bali seperti yang
termuat dalam Lontar Kutara Kanda Dewa
Purana Bangsul, menyebutkan tentang terbentuknya gunung-gunung atau
bukit-bukit sebagai Lingga Acala di
pulau Bali (Bali Dwipa) dan Lombok (Selaparang Dwipa) serta berdirinya
pura-pura atau Kahyangan pada
lereng-lereng atau puncaknya, yang diciptakan oleh Bhatara Hyang Pasupati (Sang
Hyang Parameswara) dengan membelah Gunung Mahameru untuk dibawa ke Bali dan
Lombok.
Om,
Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar