TRI HITA KARANA
(Harmonisasi
Alam Perspektif Tri Hita Karana)
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali yang memiliki julukan pulau yang indah, paradise island, sangat
terkenal dengan pulau seribu pura, betul-betul pulau yang sudah dan menjanjikan
kemakmuran bagi siapa saja, yang hidup di Bali dan menjanjikan kebahagiaan bagi
siapa saja yang datang ke Bali. Bali dianugerahkan oleh Sang Hyang Widhi,
tanah yang subur, pantai, gunung, bukit yang indah, sungai, kekayaan laut yang berlimpah,
bahkan arsitektur yang boleh dikatakan dikagumi. Adanya konsep Tri Hita Karana yang
menjiwai nafas kehidupan orang Bali (Hindu) menjadikan Bali harmonis secara
makrokosmos maupun mikrokosmos.
Dalam perkembangannya, Bali mengalami
perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa orang Bali menjadi manusia
cerdas spiritual dan kebajikan menjadi meningkat, membawa konsekuensi terhadap
kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan, terlebih-lebih terhadap kehidupan adat
Bali yang merupakan pelaksanaan agama Hindu Bali yang terwjud dalam
kebiasaan-kebiasaan perilaku masyarakat baik kelompok maupun individu dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Kitab Suci Bhagawad Gita III. 10 telah
tercantum falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana bukanlah sekedar tata ruang. Tri Hita Karana pada
hakikatnya adalah “sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan
mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada sesama
manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan” (Wiana dalam
Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, 2004: 275). Konsep hidup yang sangat
ideal ini diterapkan abad XI, yang bertujuan menata kehidupan umat Hindu di
Bali. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan bahwa Mpu Kuturanlah yang
menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali, “Manut Lingih Sang
Hyang Aji”, artinya menata kehidupan berdasarkan ajaran kitab suci. Di
setiap desa pakraman dibangun Kahyangan Tiga untuk sang catur
warna. Desa pakraman itu merupakan tempat/wadah sang catur asrama
dan catur warna untuk mewujudkan tujuan hidupnya mencapai catur
warga (dharma, artha, kama, dan moksah). Di desa pakraman diciptakan
suatu tatanan untuk mengembangkan cinta kasih pada alam lingkungan beserta
isinya. Hal ini sesuai dengan yangtercantum dalam kitab “SARASAMUSCAYA (135)
dengan istilah PRIHEN TIKANG BHUTA HITA”, artinya usahakan
kesejahteraan semua makhluk itu akan menjamin tegaknya catur marga atau
empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tri Hita Karana
Istilah Tri Hita Karana saat ini begitu populer
sekaligus bersifat polemik. Konsepsi dasar Tri Hita Karana tercantum
dalam Kitab Suci Bhagawad Gita III. 10 dinyatakan bahwa yadnyalah yang
menjadi dasar hubungan Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), manusia (praja)
dan alam (kamaduk) (Wiana, 2004: 264). Berdasarkan pernyataan di atas Tri
Hita Karana adalah dasar untuk mendapatkan kebahagiaan hidup apabila mampu
melakukan hubungan yang harmonis berdasarkan yadnya (ritual, korban suci)
kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud bakti (tulus) kepada
sesama manusia dalam wujud pengabdian dan kepada alam lingkungan dalam wujud
pelestarian alam dengan penuh kasih. Harmonisasi dan dinamisasi berdasarkan
yadnyanya dari tiga unsur sebagai sebab (karana) datangnya kebahagiaan
hidup (hita) atau “tiga penyebab kedatangan kebahagiaan”. Berdasarkan
rumusan dalam Bhagawad Gita III.10 di atas dapat dinyatakan bahwa,
secara filosofis Tri Hita Karana adalah membangun kebahagiaan dengan
mewujudkan sikap hidup yang seimbang antara berbakti kepada Sang Hyang Widhi,
mengabdi kepada sesama umat manusia dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan
yadnya.
2.2 Tahapan Pengamalan
Tri Hita Karana
Tri
Hita Karana harus diamalkan dalam kehidupan individu dan kehidupan
bersama. Pada hakekatnya manusia di samping berhadapan dengan dirinya juga
dengan masyarakat lingkungannya. Konsep Tri Hita Karana wajib diamalkan
dalam kehidupan
bersama (masyarakat).
1. Pengamalan dalam
Kehidupan Individu
Tri
Hita Karana harus ditanamkan dalam kehidupan individu, yaitu bakti
kepada Tuhan, mengabdi pada sesama sesuai dengan swadharma (profesi atau
bakat masing-masing) dengan dasar saling hormat menghormati dan sayang
menyayangi berdasarkan yadnya dan menjaga kelestarian alam secara aktif
merupakan implementasi dari ajaran Tri Hita Karana.
2. Dalam Kehidupan Keluarga
Setiap
anggota-anggota keluarga hendaknya percaya dan rajin berbakti kepada Tuhan,
saling menyayangi sesama anggota keluarga dan menanamkan cinta kasih dengan
alam lingkungan. Untuk membangun sikap itu hendaknya tempat tinggal ditempati
dengan tempat pemujaan yang memadai. Halaman rumah hendaknya ditanami apotek
hidup, pasar hidup, dan taman keluarga. Hal ini akan dapat menumbuhkan rasa
bakti pada Tuhan. Seperti diketahui bahwa, ruang tempat tinggal Umat Hindu
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Utama Mandala adalah ruang menempatkan
tempat pemujaan biasanya diletakkan di bagian uranus. Madya mandala adalah
ruang menempatkan bangunan rumah, dan terakhir adalah Nista Mandala adalah
tempat untuk membuang sampah.
3. Dalam Kehidupan Desa Adat / Desa Pakraman
Di
setiap desa seharusnya ada unsur-unsur Tri Hita Karana yaitu adanya parhyangan
sebagai tempat melakukan srada dan bhakti kepada Tuhan, ada pawongan,
yaitu tata tertib yang menata hubungan antara anggota krama desa dan
pelemahan, yaitu wilayah desa adat dengan batas-batas desa yang jelas
dan pasti. Oleh karena itu, setiap desa adat memiliki awig-awig yang
mengandung sukerta tata agama. yaitu:
1.Sukerta Tata Agama artinya menata tata
tertib hidup beragama
2.Sukerta Tata Pawongan
maksudnya
menata hubungan saling mengabdi atau basuka duka antara sesama warga (krama)
desa.
3.Sukerta Tata Palemahan maksudnya menata tata
guna wilayah desa agar kegiatan
Awig-awig
desa
adat dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam perkembangan selanjutnya
diharapkan awig-awig bersifat fleksibel dan memiliki daya tahan dalam menghadapi
arus globalisasi.
4. Dalam Kehidupan
Kerja
Setiap
pekerjaan ada ruang kerjanya. Dalam ruang kerja tersebut tercermin adanya
unsur-unsur Tri Hita Karana. Sebagai contoh. Dalam sawah dan ladang ada
tempat pemujaan untuk mendoakan agar mereka dalam bekerja mendapatkan wara
nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa. Di bagian hulu sawah ada Pura Bedugul.
Ladang memiliki Pura Alas Rasmini. Dengan selalu ingat memuja Tuhan
mereka memiliki kesadaran untuk memperhatikan ruang dan alat-alat kerjanya
secara seimbang.
5. Dalam Kehidupan
Global
Dalam
Kitab Yajur Weda dinyatakan “Tuhan beristana di alam semesta (Bhuana
Agung) yang bergerak maupun yang tidak bergerak”. Demikian juga dalam Lontar
Mpu Kuturan dinyatakan Bali dikembangkan sebagai Padma Bhuana. Di sembilan
penjuru Bali terletak Kahyangan Jagat. Kahyangan Jagat itu adalah
tempat pemujaan pada sembilan manifestasi Tuhan yang disebut Dewata Nawa
Sangga. Pura Pusering Jagat sebagai Pusar Bali. Begitu pula
Pura Besakih sebagai Huluning Bali Rajya, yang terletak di Timur
Laut (ersania). Ini menggambarkan bahwa Tuhan ada di mana-mana.
Kesembilan Pura Kahyangan Jagat ini bertujuan untuk memotivasi Umat Hindu
ke arah mana pun pergi hendaknya selalu ingat memuja Tuhan.
6. Praktek Realita Tri
Hita Karana
Falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana telah
dimuat dalam Kitab Suci Bhagawad Gita (III.10). Tri Hita Karana bukanlah
sekedar konsep tata ruang. Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah
sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi kepada sesama
manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Walaupun ajaran
atau konsep Tri Hita Karana termuat dalam kitab suci namun dengan adanya
sistem kewangsaan yang membeda-bedakan harkat dan martabat berdasarkan wangsa
(biasa disebut-sebut sebagai Kasta). Hal ini jelas menyimpang dari
ajaran suci dan tidak semestinya dibanggakan karena merusak hubungan antara
manusia dengan manusia bahkan antar-wangsa dengan wangsa yang
lain. Tradisi “kewangsaan” sangat bertentangan dengan ajaran Tri Hita Karana
khususnya yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama masalah kebenaran
dan keadilan. Konsep hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama
manusia dan manusia dengan alam perlu direkonstruksi agar sesuai dengan kebutuhan
zaman yang berkembang semakin industrialis. Oleh karena itu, penerapan Tri
Hita Karana harus diarahkan untuk memecahkan persoalan hidup pada saat ini
dan pada masa-masa yang akan datang yang semakin kompleks. Dalam Bhagawad
Gita (XVI.4) dinyatakan sikap bangga yang berlebihan (dambhak) dan sombong
(darpak) tergolong sifat-sifat asura. Membanggakan diri secara
berlebihan dapat menimbulkan sikap menganggap rendah pihak yang lain.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keharmonisan akan membawa kehidupan yang sejahtera
lahir dan batin apabila keharmonisan itu sebagai wujud dari kebenaran dan
kesucian. Keharmonisan yang dapat dijadikan sumber atman adalah keharmonisan yang
dibangun berdasarkan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah
kehidupan yang seimbang antara berbakti kepada Tuhan (prajapati) mengabdi
kepada semua umat manusia (praja) dan meyanyangi alam lingkungan (kamadhuk)
berdasarkan yadnya yang merupakan sumber tattwa kebudayaan Bali. Untuk
mewujudkan ajaran Tri Hita Karana harus dilakukan oleh manusia. Manusialah
yang berfungsi sentral dalam mengamalkan ajaran itu. Manusia harus membangun
dirinya untuk menjadi pelaku utama terwujudnya Sundaram. Ajaran Sundaram
sebagai filosofi keharmonisan itulah yang dijabarkan lebih konseptual menjadi
Tri Hita Karana yang lebih diaktualkan dalam sistem budaya Hindu di Bali.
Hubungan yang harmonis dan dinamis berdasarkan yadnya antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan alam harus diamalkan
dalam kehidupan individu, dalam kehidupan keluarga, dalam kehidupan desa adat,
dalam kehidupan kerja dan dalam kehidupan global.
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah
Krtawo Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar