Rabu, 08 April 2020

HARMONISASI ALAM PERSPEKTIF TRI HITA KARANA



TRI HITA KARANA
(Harmonisasi Alam Perspektif Tri Hita Karana)

Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
 
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali yang memiliki julukan pulau yang indah, paradise island, sangat terkenal dengan pulau seribu pura, betul-betul pulau yang sudah dan menjanjikan kemakmuran bagi siapa saja, yang hidup di Bali dan menjanjikan kebahagiaan bagi siapa saja yang datang ke Bali. Bali dianugerahkan oleh Sang Hyang Widhi, tanah yang subur, pantai, gunung, bukit yang indah, sungai, kekayaan laut yang berlimpah, bahkan arsitektur yang boleh dikatakan dikagumi. Adanya konsep Tri Hita Karana yang menjiwai nafas kehidupan orang Bali (Hindu) menjadikan Bali harmonis secara makrokosmos maupun mikrokosmos.
Dalam perkembangannya, Bali mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa orang Bali menjadi manusia cerdas spiritual dan kebajikan menjadi meningkat, membawa konsekuensi terhadap kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan, terlebih-lebih terhadap kehidupan adat Bali yang merupakan pelaksanaan agama Hindu Bali yang terwjud dalam kebiasaan-kebiasaan perilaku masyarakat baik kelompok maupun individu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kitab Suci Bhagawad Gita III. 10 telah tercantum falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana bukanlah sekedar tata ruang. Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah “sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan” (Wiana dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, 2004: 275). Konsep hidup yang sangat ideal ini diterapkan abad XI, yang bertujuan menata kehidupan umat Hindu di Bali. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan bahwa Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali, “Manut Lingih Sang Hyang Aji”, artinya menata kehidupan berdasarkan ajaran kitab suci. Di setiap desa pakraman dibangun Kahyangan Tiga untuk sang catur warna. Desa pakraman itu merupakan tempat/wadah sang catur asrama dan catur warna untuk mewujudkan tujuan hidupnya mencapai catur warga (dharma, artha, kama, dan moksah). Di desa pakraman diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan cinta kasih pada alam lingkungan beserta isinya. Hal ini sesuai dengan yangtercantum dalam kitab “SARASAMUSCAYA (135) dengan istilah PRIHEN TIKANG BHUTA HITA”, artinya usahakan kesejahteraan semua makhluk itu akan menjamin tegaknya catur marga atau empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. 

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tri Hita Karana
Istilah Tri Hita Karana saat ini begitu populer sekaligus bersifat polemik. Konsepsi dasar Tri Hita Karana tercantum dalam Kitab Suci Bhagawad Gita III. 10 dinyatakan bahwa yadnyalah yang menjadi dasar hubungan Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamaduk) (Wiana, 2004: 264). Berdasarkan pernyataan di atas Tri Hita Karana adalah dasar untuk mendapatkan kebahagiaan hidup apabila mampu melakukan hubungan yang harmonis berdasarkan yadnya (ritual, korban suci) kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud bakti (tulus) kepada sesama manusia dalam wujud pengabdian dan kepada alam lingkungan dalam wujud pelestarian alam dengan penuh kasih. Harmonisasi dan dinamisasi berdasarkan yadnyanya dari tiga unsur sebagai sebab (karana) datangnya kebahagiaan hidup (hita) atau “tiga penyebab kedatangan kebahagiaan”. Berdasarkan rumusan dalam Bhagawad Gita III.10 di atas dapat dinyatakan bahwa, secara filosofis Tri Hita Karana adalah membangun kebahagiaan dengan mewujudkan sikap hidup yang seimbang antara berbakti kepada Sang Hyang Widhi, mengabdi kepada sesama umat manusia dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan yadnya.

2.2 Tahapan Pengamalan Tri Hita Karana
Tri Hita Karana harus diamalkan dalam kehidupan individu dan kehidupan bersama. Pada hakekatnya manusia di samping berhadapan dengan dirinya juga dengan masyarakat lingkungannya. Konsep Tri Hita Karana wajib diamalkan dalam kehidupan
bersama (masyarakat).
1. Pengamalan dalam Kehidupan Individu
Tri Hita Karana harus ditanamkan dalam kehidupan individu, yaitu bakti kepada Tuhan, mengabdi pada sesama sesuai dengan swadharma (profesi atau bakat masing-masing) dengan dasar saling hormat menghormati dan sayang menyayangi berdasarkan yadnya dan menjaga kelestarian alam secara aktif merupakan implementasi dari ajaran Tri Hita Karana.
2. Dalam Kehidupan Keluarga
Setiap anggota-anggota keluarga hendaknya percaya dan rajin berbakti kepada Tuhan, saling menyayangi sesama anggota keluarga dan menanamkan cinta kasih dengan alam lingkungan. Untuk membangun sikap itu hendaknya tempat tinggal ditempati dengan tempat pemujaan yang memadai. Halaman rumah hendaknya ditanami apotek hidup, pasar hidup, dan taman keluarga. Hal ini akan dapat menumbuhkan rasa bakti pada Tuhan. Seperti diketahui bahwa, ruang tempat tinggal Umat Hindu dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Utama Mandala adalah ruang menempatkan tempat pemujaan biasanya diletakkan di bagian uranus. Madya mandala adalah ruang menempatkan bangunan rumah, dan terakhir adalah Nista Mandala adalah tempat untuk membuang sampah.
3. Dalam Kehidupan Desa Adat / Desa Pakraman
Di setiap desa seharusnya ada unsur-unsur Tri Hita Karana yaitu adanya parhyangan sebagai tempat melakukan srada dan bhakti kepada Tuhan, ada pawongan, yaitu tata tertib yang menata hubungan antara anggota krama desa dan pelemahan, yaitu wilayah desa adat dengan batas-batas desa yang jelas dan pasti. Oleh karena itu, setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengandung sukerta tata agama. yaitu:
1.Sukerta Tata Agama artinya menata tata tertib hidup beragama
2.Sukerta Tata Pawongan maksudnya menata hubungan saling mengabdi atau basuka duka antara sesama warga (krama) desa.
3.Sukerta Tata Palemahan maksudnya menata tata guna wilayah desa agar kegiatan
Awig-awig desa adat dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan awig-awig bersifat fleksibel dan memiliki daya tahan dalam menghadapi arus globalisasi.
4. Dalam Kehidupan Kerja
Setiap pekerjaan ada ruang kerjanya. Dalam ruang kerja tersebut tercermin adanya unsur-unsur Tri Hita Karana. Sebagai contoh. Dalam sawah dan ladang ada tempat pemujaan untuk mendoakan agar mereka dalam bekerja mendapatkan wara nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa. Di bagian hulu sawah ada Pura Bedugul. Ladang memiliki Pura Alas Rasmini. Dengan selalu ingat memuja Tuhan mereka memiliki kesadaran untuk memperhatikan ruang dan alat-alat kerjanya secara seimbang.
5. Dalam Kehidupan Global
Dalam Kitab Yajur Weda dinyatakan “Tuhan beristana di alam semesta (Bhuana Agung) yang bergerak maupun yang tidak bergerak”. Demikian juga dalam Lontar Mpu Kuturan dinyatakan Bali dikembangkan sebagai Padma Bhuana. Di sembilan penjuru Bali terletak Kahyangan Jagat. Kahyangan Jagat itu adalah tempat pemujaan pada sembilan manifestasi Tuhan yang disebut Dewata Nawa Sangga. Pura Pusering Jagat sebagai Pusar Bali. Begitu pula Pura Besakih sebagai Huluning Bali Rajya, yang terletak di Timur Laut (ersania). Ini menggambarkan bahwa Tuhan ada di mana-mana. Kesembilan Pura Kahyangan Jagat ini bertujuan untuk memotivasi Umat Hindu ke arah mana pun pergi hendaknya selalu ingat memuja Tuhan.
6. Praktek Realita Tri Hita Karana
Falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana telah dimuat dalam Kitab Suci Bhagawad Gita (III.10). Tri Hita Karana bukanlah sekedar konsep tata ruang. Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi kepada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Walaupun ajaran atau konsep Tri Hita Karana termuat dalam kitab suci namun dengan adanya sistem kewangsaan yang membeda-bedakan harkat dan martabat berdasarkan wangsa (biasa disebut-sebut sebagai Kasta). Hal ini jelas menyimpang dari ajaran suci dan tidak semestinya dibanggakan karena merusak hubungan antara manusia dengan manusia bahkan antar-wangsa dengan wangsa yang lain. Tradisi “kewangsaan” sangat bertentangan dengan ajaran Tri Hita Karana khususnya yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama masalah kebenaran dan keadilan. Konsep hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam perlu direkonstruksi agar sesuai dengan kebutuhan zaman yang berkembang semakin industrialis. Oleh karena itu, penerapan Tri Hita Karana harus diarahkan untuk memecahkan persoalan hidup pada saat ini dan pada masa-masa yang akan datang yang semakin kompleks. Dalam Bhagawad Gita (XVI.4) dinyatakan sikap bangga yang berlebihan (dambhak) dan sombong (darpak) tergolong sifat-sifat asura. Membanggakan diri secara berlebihan dapat menimbulkan sikap menganggap rendah pihak yang lain. 

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keharmonisan akan membawa kehidupan yang sejahtera lahir dan batin apabila keharmonisan itu sebagai wujud dari kebenaran dan kesucian. Keharmonisan yang dapat dijadikan sumber atman adalah keharmonisan yang dibangun berdasarkan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah kehidupan yang seimbang antara berbakti kepada Tuhan (prajapati) mengabdi kepada semua umat manusia (praja) dan meyanyangi alam lingkungan (kamadhuk) berdasarkan yadnya yang merupakan sumber tattwa kebudayaan Bali. Untuk mewujudkan ajaran Tri Hita Karana harus dilakukan oleh manusia. Manusialah yang berfungsi sentral dalam mengamalkan ajaran itu. Manusia harus membangun dirinya untuk menjadi pelaku utama terwujudnya Sundaram. Ajaran Sundaram sebagai filosofi keharmonisan itulah yang dijabarkan lebih konseptual menjadi Tri Hita Karana yang lebih diaktualkan dalam sistem budaya Hindu di Bali. Hubungan yang harmonis dan dinamis berdasarkan yadnya antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan alam harus diamalkan dalam kehidupan individu, dalam kehidupan keluarga, dalam kehidupan desa adat, dalam kehidupan kerja dan dalam kehidupan global.

 Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar