PAWIWAHAN
(Perkawinan
Perspektif Agama Hindu)
Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang
disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini
tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk
mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari
Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama
memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup
diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut Lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan
suatu kehidupan yang disebut Yatha sakti
Kayika Dharma yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri
mewujudkan dharma dalam kehidupan
ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan
oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang
harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang
berdasarkan dharma. Pada tahap
persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan
bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil
rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik
kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang Agama Hindu, terutama
mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha,
untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama
berdasarkan dharma.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu
yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam
rangka memperbaiki karmanya. Dalam Kitab
Suci Sarasamuscaya sloka II disebutkan ri
sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha
asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma
pahalaning dadi wang" artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk
yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik
atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang
baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka di atas, karma hanya
dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma
secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan
penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi
kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan
melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara. Perkawinan Umat Hindu merupakan suatu yang suci dan
sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda,
perkawinan ditentukan oleh seorang Rsi,
yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang
akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Rsi
ahli atau Brahmana Sista, cocok atau
tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas
Pasangan yang tidak cocok (secara rohani)
dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan
akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak
lagi dipertemukan oleh Rsi, namun
oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti
menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan
lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar
pertimbangan.
Pada jaman modern dan era globalisasi
seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan
dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak
menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat
tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi
nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan
fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi kata pawiwahan
berasal dari kata dasar wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pesta
pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997: 1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik
dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang
digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1, dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa.”
- Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan ialah pertalian yang sah
antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.”
(Subekti, 1985: 23).
- Menurut Wirjono Projodikoro, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut, maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan (wiwaha) adalah social institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. Tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
- Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan. Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja, menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara adat menggunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka.
- Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan sekala niskala
(lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya
alaki rabi).“ (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, dapat dimpulkan pawiwahan adalah ikatan lahir batin (sekala dan niskala ) antara
seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui
oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.
2.2
Hakekat dan Tujuan Pawiwahan
Perkawinan menurut hindu adalah yadnya sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan
menjadi grahasta asrama merupakan
lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaanya. Didalam grahasta inilah tiga usaha yang harus
dilaksanakan yaitu:
1.
Dharma
Dharma
yang dimaksud adalah aturan-aturan
yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara.
2. Artha
Segala
sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga merupakan material dan pengetahuan.
3. Kama
Rasa
kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga.
Dengan
demikian keluarga Hindu harus
mampu hidup dalam kesadaran sujud pada Tuhan, bebas dari kegelapan, selalu giat
bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tentram,
harmonis dan damai. Wiwaha dalam Agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia.
Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna
bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang
hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai
suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan dapat
dilakukan oleh keturunannya. Tujuan utama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih
terhadap sesama dan berbhakti kepada Tuhan. Dalam Nitisastra dijelaskan bahwa orang yang mampu membuat seratus sumur
masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang
mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang
tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak
suputra. Demikian keutamaan anak suputra. Dalam kehidupan berumah tangga adapun
kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu: (1) Melanjutkan keturunan, (2) Membina
rumah tangga, (3) Bermasyarakat dan (4) Melaksanakan Panca Yadnya.
Tujuan pawiwahan
berdasarkan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan
bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal maka dalam Agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam Kitab
Suci Weda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung
sekali dalam hidup manusia. Menurut I Made Titib dalam makalah
“Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan
perkawinan menurut Agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1. Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu
dharma yang harus dilaksanakan sebagai Umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur
Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra,
Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusa Arta, maka pada masa Grhasta manusia
Hindu telah melaksanakan Tripurusa,
yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa ke empat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila
telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan
jalan untuk dapat melaksanakan dharma
secara utuh seperti dharma seorang
suami atau istri, dharma sebagai
orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial
dan dharma sebagai umat.
2. Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan
untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa
keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar.
sehingga pernikahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada keturunan
untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia.
Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas
melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi
kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan
bimbingan dharma kepada semua
keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai,
dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi
keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti
neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang
menyelamatkan dari neraka.” Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini,
bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri melihat
arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena
“ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi.
3. Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang
sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan
duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat
memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju
spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan
dapat membangun keluarga yang sukinah
(selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera
lahir batin), siddhi (teguh, tangguh,
tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang
dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali
kita lantunkan dalam puja bhakti
sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu.
Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.
Perkawinan
pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur
untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan :
“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang
juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha
karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang.”
Artinya:
“Dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup,
yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk.
Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah
manfaat jadi manusia.”
Berkaitan dengan sloka tersebut, karma hanya dengan
menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan
memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada
leluhur. Lebih lagi kalau anak itu dapat dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan
melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara. Keluarga yang
berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi
keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri,
masing-masing dengan swadharma
mereka. Keduanya harus saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah
tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai seni berumah
tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa dan saling
memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda
tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan
mudah dapat dilaksanakan.
Tujuan pokok
perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin.
Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur
material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/perumahan (Artha).
Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara
suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga,
dan eksistensi sosial di masyarakat (Kama).
2.3 Sistem dan Jenis-jenis Pawiwahan
Sistem
pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut
hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan
sah sebagai suami istri. Dalam Manawa Dharmasastra III. 21 disebutkan:
Brahma Dai vastat hai varsyah,
Prapaja yastatha surah,
Gandharwa raksasa caiva,
Paisacasca astamo dharmah.”
Artinya:
“Adapun sistem
perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi wiwaha, Prajapati wiwaha,
Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.”
1) Brahma wiwaha,
adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli weda dan berperilaku
baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita.
Sloka:
“Acchadya carcayitwa ca cruti cila wate
swayam, ahuya danam kanyaya brahma dharmah prakirtitah.”
Artinya:
“Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu
dirias (dengan pakaian yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi
permata) kepada seorang yang aktif dalam Weda lagi pula budi bahasanya yang
baik yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut Brahma Wiwaha.”
2) Daiwa wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada
pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra
III.28).
Sloka:
“Yajne tu witate samyag rtwije karma
kurwate, alamkrtya sutadanam daiwam dharmam pracaksate.”
Artinya:
“Pemberian seorang wanita yang setalah terlebih dahulu
dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang pendeta yang melaksanakan
upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut Daiwa Wiwaha.
3)
Arsa wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan
yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki-laki
(Manawa Dharmasastra III.29).
Sloka:
“Ekam gomithunam dwe wa waradadaya
dharmatah, kanyapradanam widhi wadarso dharma sa ucyate.”
Artinya:
“
Kalau seorang ayah mengawinkan anak perempuannya sesuai dengan peraturan setelah
menerima seekor sapi atau seekor atau dua pasang lembu dan pengantin pria untuk
memenuhi peraturan dharma, disebut acara Arsa Wiwaha.”
4) Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah
berpesan dengan mantra kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah
menunjukkan penghormatan kepada pengantin pria (Manawa Dharmasastra III.30).
Sloka:
“Sahobhau caratam dharmam iti wacanubhasya
ca, kanyapradanam abhyarcya prajapatyo widhih smrtah.”
Artinya:
“Pemberian seorang anak perempuan
(oleh ayah si wanita) setelah berpesan kepada mempelai dengan mantra (semoga
kamu berdua melaksanakan kewajiban) dan menunjukkan penghormatan (kepada
pengantin pria), perkawinan itu di dalam kitab smreti dinamai Prajapati Wiwaha.”
5) Asura wiwaha, adalah bentuk perkawinan dimana
setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan
didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita
itu untuk dimiliki (Manawa Dharmasastra III.31).
Sloka:
“Jnatibhyo
drawinam dattwa kanyayai caiwa caktitah, kanyapradanam sacchandyad asuro dharma
ucyate.”
Artinya:
“Kalau
pengantin Pria menerima seorang perempuan setelah pria itu member mas kawin
sesuai dengan kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada
mempelai wanita dan keluarganya cara itu dinamakan perkawinan Asura.”
6) Gandharwa wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka
antara kedua mempelai (Manawa Dharmasastra III.32).
Sloka:
“Icchayanyonya samyogah kanyanya warasya ca,
gandharwah satu wijneyo maithunyah kamasam bhawah.”
Artinya:
“Pertemuan
suka sama suka antara perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan
bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara perkawinan Gandharwa.’
7) Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara
menculik wanita dengan kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33).
Sloka:
“Hatwa chitwa ca bhittwa ca krocatim rudatim
grihat, prasahya kanya haranam raksaso widhi rucyate.”
Artinya:
“Melarikan
seorang gadis denga paksa dari rumahnya dimana wanita berteriak-teriak menangis
setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan
perkawina Raksasa.”
8) Paisaca wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara
mencuri, memaksa dan membuat bingung atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Sloka:
“Sutpam
mattam pramattam waraho yatropagacchati, sa papistho wiwahanam paicaca ccastamo
dhamah.”
Artinya:
“Kalau
seorang laki-laki dengan secara mencuri-curi dan memperkosa seorang wanita yang
sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan Paisaca
yang amat rendah dan penuh dosa.”
Bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang
dilarang dalam kehidupan baik oleh hukum agama atau hukum negara yaitu sistem
perkawinan Raksasa dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun
sistem pawiwahan yaitu:
1. Sistem mapadik atau
meminang, pihak keluarga memepelai laki-laki datang ke rumah calon
mempelai wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai
sebelumnya telasa saling mengenal dan ada kesepakatan untuk hidup berumah
tangga. Inilah sistem yang dianggap paling terhormat.
2. Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar
suka sama suka dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu
salah satu orang tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari.
3. Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar
perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus
sebagai purusa dan pria berstatus
sebagai pradana. Dalam hubungan ini
mempelai laki-laki tinggal di rumah mempelai wanita.
4. Sistem melegandang,
bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari
Undang-undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campuran antara mereka yang
berbeda warga negara dan agama. Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka
hukum agama si suami yang harus diikuti. Berhubungan dengan hal itu agar
perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu
maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha
tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara
sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup
mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara tersebut
dilaksanakan.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1. Pengertian pawiwahan secara sistematik dapat dipandang
dari sudut yang berbeda-beda sesui dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan
tersebut antara lain: menurut Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan
yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal.
3.1.2 Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para leluhur dengan melahirkan seorang
putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia
(jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
3.1.3. Sistem perkawinan menurut Hindu dalam Kitab Manava Dharmasastra III.21 bentuk perkawinana meliputi Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, Prajapatya
wiwaha, Asuri wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha dan Paisaca
wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem pawiwahan yaitu: sistem
mapadik atau meminang, sistem ngerorod atau rangkat, sistem nyentana
atau nyeburin dan sistem melegandang.
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah
Krtawo Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar