Rabu, 08 April 2020

PAWIWAHAN




PAWIWAHAN 
(Perkawinan Perspektif Agama Hindu)  

 Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.

Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.

Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut Lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut Yatha sakti Kayika Dharma yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan dharma. Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang Agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan dharma.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya sloka II disebutkan ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang" artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka di atas, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara. Perkawinan Umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Rsi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Rsi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas
Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Rsi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.
Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi kata pawiwahan berasal dari kata dasar wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997: 1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1, dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi :
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.”
  1. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut:
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.” (Subekti, 1985: 23).
  1. Menurut Wirjono Projodikoro, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
  2. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut, maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan (wiwaha) adalah social institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. Tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
  3. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan. Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja, menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara adat menggunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka.
  4. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan sekala  niskala  (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi).“ (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dimpulkan pawiwahan adalah ikatan lahir batin (sekala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.

2.2 Hakekat dan Tujuan Pawiwahan
Perkawinan menurut hindu adalah yadnya sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menjadi grahasta asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaanya. Didalam grahasta inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan yaitu:
1.      Dharma
Dharma yang dimaksud adalah aturan-aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara.
2.   Artha
Segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga merupakan material dan pengetahuan.
3.   Kama
Rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga.
Dengan demikian keluarga Hindu harus mampu hidup dalam kesadaran sujud pada Tuhan, bebas dari kegelapan, selalu giat bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tentram, harmonis dan damai. Wiwaha dalam Agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan dapat dilakukan oleh keturunannya. Tujuan utama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada Tuhan. Dalam Nitisastra dijelaskan bahwa orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra. Dalam kehidupan berumah tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu: (1) Melanjutkan keturunan, (2) Membina rumah tangga, (3) Bermasyarakat dan (4) Melaksanakan Panca Yadnya.
Tujuan pawiwahan berdasarkan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal maka dalam Agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam Kitab Suci Weda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut Agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.  Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai Umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusa Arta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa ke empat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial dan dharma sebagai umat.
2. Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga pernikahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka.” Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi.
3. Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan :
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang.
Artinya:
“Dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.”
Berkaitan dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih lagi kalau anak itu dapat dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara. Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya harus saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai seni berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa dan saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.
Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/perumahan (Artha). Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (Kama).

2.3 Sistem dan Jenis-jenis Pawiwahan
Sistem pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Dalam Manawa Dharmasastra III. 21 disebutkan:
Brahma Dai vastat hai varsyah,
Prapaja yastatha surah,
Gandharwa raksasa caiva,
Paisacasca astamo dharmah.”
Artinya:
“Adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.”
1)    Brahma wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli weda dan berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita.
Sloka:
Acchadya carcayitwa ca cruti cila wate swayam, ahuya danam kanyaya brahma dharmah prakirtitah.

Artinya:

“Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang yang aktif dalam Weda lagi pula budi bahasanya yang baik yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut Brahma Wiwaha.”

2)    Daiwa wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra III.28).
Sloka:
“Yajne tu witate samyag rtwije karma kurwate, alamkrtya sutadanam daiwam dharmam pracaksate.”

Artinya:

“Pemberian seorang wanita yang setalah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut Daiwa Wiwaha.

3)    Arsa wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki-laki (Manawa Dharmasastra III.29).
Sloka:
“Ekam gomithunam dwe wa waradadaya dharmatah, kanyapradanam widhi wadarso dharma sa ucyate.”

Artinya:

“ Kalau seorang ayah mengawinkan anak perempuannya sesuai dengan peraturan setelah menerima seekor sapi atau seekor atau dua pasang lembu dan pengantin pria untuk memenuhi peraturan dharma, disebut acara Arsa Wiwaha.”

4)    Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan kepada pengantin pria (Manawa Dharmasastra III.30).
Sloka:
Sahobhau caratam dharmam iti wacanubhasya ca, kanyapradanam abhyarcya prajapatyo widhih smrtah.”
Artinya:
“Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan kepada mempelai dengan mantra (semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban) dan  menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), perkawinan itu di dalam kitab smreti dinamai Prajapati Wiwaha.”

5)   Asura wiwaha, adalah bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki (Manawa Dharmasastra III.31).
Sloka:
“Jnatibhyo drawinam dattwa kanyayai caiwa caktitah, kanyapradanam sacchandyad asuro dharma ucyate.”

Artinya:
“Kalau pengantin Pria menerima seorang perempuan setelah pria itu member mas kawin sesuai dengan kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya cara itu dinamakan perkawinan Asura.”

6)  Gandharwa wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua mempelai (Manawa Dharmasastra III.32).
Sloka:
“Icchayanyonya samyogah kanyanya warasya ca, gandharwah satu wijneyo maithunyah kamasam bhawah.”

Artinya:          
“Pertemuan suka sama suka antara perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara perkawinan Gandharwa.’

7)   Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33).
Sloka:
“Hatwa chitwa ca bhittwa ca krocatim rudatim grihat, prasahya kanya haranam raksaso widhi rucyate.”

Artinya:
“Melarikan seorang gadis denga paksa dari rumahnya dimana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawina Raksasa.”

8)   Paisaca wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Sloka:
“Sutpam mattam pramattam waraho yatropagacchati, sa papistho wiwahanam paicaca ccastamo dhamah.”

Artinya:
“Kalau seorang laki-laki dengan secara mencuri-curi dan memperkosa seorang wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan Paisaca yang amat rendah dan penuh dosa.”

Bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam kehidupan baik oleh hukum agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem pawiwahan yaitu:
1.   Sistem mapadik atau meminang, pihak keluarga memepelai laki-laki datang ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telasa saling mengenal dan ada kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah sistem yang dianggap paling terhormat.
2.   Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari.
3.   Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan pria berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki-laki tinggal di rumah mempelai wanita.
4.   Sistem melegandang, bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang-undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campuran antara mereka yang berbeda warga negara dan agama. Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus diikuti. Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara tersebut dilaksanakan.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1.       Pengertian pawiwahan secara sistematik dapat dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesui dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
3.1.2       Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para leluhur dengan melahirkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
3.1.3.   Sistem perkawinan menurut Hindu dalam Kitab Manava Dharmasastra III.21 bentuk perkawinana meliputi Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, Prajapatya wiwaha, Asuri wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha dan  Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem pawiwahan yaitu:  sistem mapadik atau meminang, sistem ngerorod atau rangkat, sistem nyentana atau nyeburin dan sistem melegandang.

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar