Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya
Banjar Adat Tihingan adalah salah satu banjar adat yang terdapat di Desa Adat Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Banjar yang terdapat di areal persawahan dan perkebunan ini banyak sekali menyimpan tradisi-tradisi sakral nan unik.
”Seni sakral merupakan seni yang ada kaitannya dengan pelaksanaan yadnya yang pelaksanaannya dihubungkan dengan kekuatan gaib dari alam semesta sehingga menimbulkan emosi keagamaan (Wirnata, 2016: 15).” Menurut Yudabakti dan Watra (2007: 117) mengemukakan: “Seni sakral adalah sebuah kesenian yang lahirnya dari perjuangan rasa sujud bhakti manusia untuk dipersembahkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sakral diartikan “Suatu yang suci dan keramat (Tim Penyusun, 1994: 864).” Pementasan seni dalam seni sakral merupakan pementasan yang mengandung ajaran kebenaran, kesucian, dan keindahan yang dipentaskan pada saat-saat pelaksanaan suatu yadnya dan disesuaikan dengan keperluan (Yudabakti, 2007: 34).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan seni sakral merupakan hasil karya manusia yang indah dan suci serta dikeramatkan karena mengandung kekuatan gaib yang pelaksanaannya selalu dihubungkan dengan upacara keagamaan.
Sebagai masyarakat agraris yang bergelut di bidang pertanian, Banjar Adat Tihingan memiliki tradisi ngaturang Banten Prani dan tarian sakral Rejang Manda. Rejang Manda adalah sebuah tradisi yang ada di Banjar Adat Tihingan Desa Adat Bebandem yang di laksanakan secara turun-temurun sehingga menjadi sebuah budaya yang mentradisi dan merupakan suatu khasanah budaya Banjar Adat Tihingan Desa Adat Bebandem yang harus di jaga keberlangsungannya. Menurut Sura (1994: 207) “Tari Rejang adalah simbol widyadara-widyadari menuntun Ida Bhatara (Tuhan Hyang Maha Esa) turun ke dunia pada waktu melasti dan tedun kapeselang.” Hal senada juga diungkapkan Yudabakti dan Watra (2007: 68) Tari Rejang adalah sebuah tarian sakral yang ditarikan pada areal pura atau berdekatan dengan letak sesaji. Penarinya adalah para daha (gadis yang baru mengalami menstruasi), mereka menari beriring-iringan atau berbaris melingkar di halaman pura mengitari tempat suci atau dekat pratima-pratima ditempatkan. Sedangkan kata manda berarti keliling atau mengelilingi, menurut Kamus Jawa Kuno-Indonesia (1994: 46-47) kata manda ini berasal dari kata anda yang berarti telor, bulat dan keliling, akan tetapi dalam Kamus Bahasa Kawi kata manda berarti lemah (palemahan) atau lingkungan. Jadi dapat ditegaskan bahwa kata manda merupakan proses keliling atau mengelilingi palemahan (lingkungan sekitar).
Rejang Manda di Banjar Adat Tihingan Desa Adat Bebandem merupakan tarian sakral yang di pentaskan di pelataran Pura Patokan Banjar, pelaksanaan Rejang Manda secara rutin dilaksanakan setiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan Kalender Bali dengan memakai wewaran dan pawukon tepat jatuh pada hari Soma Wage Wuku Medangsia. Sebelum pelaksanaan Rejang Manda di Banjar Adat Tihingan, di dahului dengan pelaksanaan Rejang Pakenak seperti: Rejang Alit di Pura Wates pada hari Wrespati Kliwon Wuku Langkir, Rejang di Pura Gaduh pada hari Sukra Umanis Wuku Langkir serta Rejang Ngendahin di Pura Banjar pada hari Radite Pon Wuku Medangsia dan pada hari Soma Wage Wuku Medangsia di selenggarakan Rejang Manda serta ke esokan harinya pada hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia dilanjutkan ngaturang Rejang Pakenak di Pura Panti. Dalam pelaksaan Panca Yadnya, Rejang Manda merupakan tergolong bhutha yadnya karena upacara untuk menyeimbangkan dan samhara (penyucian) Bhuana Agung (macrocosmos) dan Bhuana Alit (microcosmos) sehingga tercipta keharmonisan alam semesta (Andhabhuana).
Prosesi Rejang Manda dilaksanakan sebagai penutup odalan atau pengaci-aci di Pura Patokan Banjar, yang di dahului dengan ngaturang Banten Prani kemudian Rejang Pakenak/Rejang Gede, Ngaturang Papendetan serta Daratan, dan di akhir acara adalah pementasan tari Rejang Manda. Rejang Manda ditarikan oleh empat orang gadis yang baru menek daha (gadis yang baru mengalami menstruasi) dengan menggunakan busana adat (Bebali) Bali kuno seperti kain gringsing, kain endek, kain skordi, kain rembang serta bermacam-macam selendang warna-warni. Hiasan dikepala menggunakan kompol yang dihiasi dengan berbagai bunga alami maupun bunga emas. Pelaksanaan Rejang Manda adalah sebagai ucapan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Hyang Maha Esa) atau bhakti kelawaning asih, karena telah melimpahkan segala rahmat-Nya kepada umat. Merujuk pada pengertian kata Manda yaitu keliling, melingkar, dan lemah atau palemahan maka Rejang Manda adalah tarian Rejang yang di tarikan berkeliling atau berputar di areal Banjar Adat Tihingan untuk mengenal tapal batas Banjar atau wilayah toritorial Banjar Adat Tihingan yang meliputi:
•Sisi Kangin (Timur) berbatasan dengan Manggungan dan Pakel
•Sisi Kelod (Selatan) berbatasan dengan Gantalan serta Desa Bebandem
•Sisi Kauh (Barat) berbatasan dengan Cingcing Buhu dan Banjar Mumbul
•Sisi Kaler/Kaja (Utara) berbatasan dengan Tihingseka dan Tagtag
Dari begitu luasnya wilayah toritorial Banjar Adat Tihingan tidak memungkinkan untuk berkeliling mengitari wilayah Banjar dalam sekejap, maka dari itu wilayah Banjar Adat Tihingan divisualisasikan dengan Upakara Caru. Sehingga penari Rejang yang berjumlah empat orang berkeliling mengitari Caru sebanyak tiga kali putaran searah dengan putaran jarum jam yang bertujuan menurunkan kekuatan atau sinar-sinar suci Tuhan (Prawerti). Masing-masing individu akan mengambil posisi nyatur, sebagai sibol Catus Pata (perempatan) ada yang di Timur (Purwa), Selatan (Daksina), Barat (Pascima), dan Utara (Uttara), kemudian penari Rejang bergeser dari tempat masing-masing ke arah kanan sambil menari, sesudah penari Rejang yang di Timur berada di Selatan, penari Rejang yang di Selatan berada di Barat dan seterusnya mereka berhenti sejenak seraya melihat Upakara Caru sebagai simbol Ida Bhatara nodya (melihat) palemahannya sekaligus memberikan anugrah kepada umatnya. Proses tersebut terjadi tiga kali putaran. Setiap kali putaran di tandai dengan ngaturang tatabuhan oleh krama saya lanang. Putaran pertama adalah ngaturang tatabuhan tuak atau berem, putaran kedua adalah ngaturang tatabuhan sajeng rateng (arak) dan putaran terakhir adalah ngaturang tatabuhan toya anyar (air). Filosofi dari ngaturang tetabuhan adalah mulai dari yang paling keruh yaitu tuak atau berem, lalu sedikit lebih bening yaitu arak kemudian yang paling bening adalah air, yang maknanya adalah krama Banjar Adat Tihingan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Hyang Maha Esa) agar kehidupan hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari sekarang. Tujuan pelaksanaan Rejang Manda adalah untuk menetralisir alam dari kekuatan-kekuatan negatif. Disharmonisasi alam sesuai dengan yang termuat dalam Lontar Siwagama menceritakan Dewi Uma yang dikutuk oleh Dewa Siwa menjadi Bhatari Panca Durga yaitu: (1) Sri Durga beryoga di timur mengadakan: Kalika, Kaliki, Yaksa, bhuta Dengen, dan Spekubanda, (2) Raja Durga beryoga di utara mengadakan: Bebai, Jukih, Jin, Setan, Bragala dan Bragali, (3) Sukami Durga beryoga di barat mengadakan: Sampulung, Pamala, Pamali dan Karasweta, (4) Dhari Durga beryoga di selatan mengadakan: Praita, Sajer, dan Bhuta Kapiragan, (5) Dewi Durga beryoga di tengah mengadakan: Bhuta Jangitan, Bhuta Langkir, Bhuta Lembukanya, Bhuta Taruna dan Bhuta Tiga Sakti. Setelah memasuki perempatan maka menjadi Catur Bhuta. Disharmonisasi alam oleh kekuatan bhuta ini menyebabkan dunia dirasakan jauh dari kesucian, keharmonisan dan kedamaian, maka diadakan upaya harmonisasi melalui sakralisasi atau penyucian terhadap alam maupun manusia itu sendiri, agar dunia beserta dengan segala isinya kembali mengalami hidup sentosa, harmonis dan sejahtera. Sakralisasi atau penyucian ini disebut Samhara. Setelah selesai pementasan Rejang Manda maka di sineb (di tutup) dengan ngaturang kramaning sembah. Rejang Manda adalah bukti nyata pengaplikasian Kosep Tri Hita Karana yang meliputi: Prahyangan adalah menekankan konteks manusia dalam hidupnya yang bersifat vertikal yaitu hubungan manusia dengan Sang Pencipta sedangkan Pawongan dan Palemahan adalah menekankan konteks manusia dalam hidupnya yang bersifat horizontal yaitu hubungan manusia dengan sesama beserta lingkungannya.
Dari paparan artikel di atas disarankan kepada seluruh Krama Banjar Adat Tihingan dan para generasi muda Hindu untuk bisa menjaga warisan leluhur sebagai keraifan lokal, sehingga nantinya bisa kita wariskan kepada anak cucu kita dan menjadi aset yang tak terhingga nilainya, disertai dengan pemahaman yang mendalam dan berlandaskan Sraddha dan Bhakti untuk menghindari istilah gugon tuwon (nak mula keto). SUKSMA
Om Santih, Santih, Santih Om
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar