- Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Hari Suci
Galungan dan Kuningan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol
dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk
seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi,
kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua
hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan.
Penjor biasanya dibuat sehari
sebelum Galungan Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan
mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad
ini lahir pada hari Budha Keliwon
Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali
menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada
hari itulah umat angayubagia,
bersyukur atas karunia Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini. Ngaturang suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa
yang sadar akan kinasihan, tahu akan hutang budi.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hari Suci Galungan dan Kuningan
Kata “Galungan” berasal
dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya
dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang
kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu
disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya
di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut
Umanis, yang artinya sama: manis.Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul
Hari Suci Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di
Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Diperkirakan,
Galungan telah lama dirayakan Umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu
populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa
Jawa Kuno yang bernama Kidung Panji
Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali
dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun
di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari
Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun çaka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam
lontar itu disebutkan:
“…Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka,
Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali
rajya….”
Artinya:
Perayaan Hari Suci Galungan itu pertama tama
adalah pada hari Rabu Kliwon, Wuku
Dungulan Sasih Kapat tanggal 15,
tahun 804 çaka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus
dirayakan oleh Umat Hindu di Bali secara meriah. Hari suci Galungan datang
setiap 210 hari sekali dalam perhitungan Kalender Bali, 10 hrai kemudian
disebut dengan Hari Suci Kuningan.
Hari Suci Kuningan
merupakan bagian dari rangkaian Hari Suci Galungan yang jatuh pada 10 hari setelah Hari
Suci Galungan, yaitu pada Saniscara
Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan”
yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar
terhindar dari mara bahaya. Jadi Kuningan mengandung janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri,
maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi,
bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan Dharma dan
mengalahkan Adharma.
Pada Hari
Suci Kuningan menggunakan banten
yang berisi simbul tamiang dan endongan, makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga
melambangkan perputaran roda alam. Endongan
maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan
adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh
adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena
bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala. Mengenai waktu
persembahyangan pada Hari Suci Kuningan, Ida
Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai
jam 12. Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya
mohon perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang,
dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu,
teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat
bajeg surya disebut masa pralina
(pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi
alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang
surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).
Pada Hari Suci Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan
dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi. Dapat diambil
kesimpulan melalui perayaan Hari Suci Kuningan inilah kita ingatkan untuk
selalu ingat menyama braya,
meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat
kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya
serta tidak lupa akan ingat mengucap syukur kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.
2.2 Rangkaian Serta Makna Hari Suci Galungan dan Kuningan
Berikut rangkaian upacara dan makan filosofi
Hari Suci Galungan menurut Bhagawan Dwija:
1.
Tumpek Wariga
Jatuh pada hari Saniscara
Kliwon Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara manifestasi Hyang
Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
2. Anggara Kasih Julungwangi
Hari Anggara Kliwon Wuku Julungwangi
atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha
dengan mecaru alit di sanggah pamerajan dan pura, serta mengadakan pembersihan area
menjelang tibanya Hari Suci Galungan.
3.
Buda Pon Sungsang
Hari Buda Pon Wuku Sungsang
atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal
Balung. Nguncal artinya melepas
atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau
membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh karena itu
disebut juga sebagai Sugian Pengenten,
artinya ngentenin (mengingatkan) agar
manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama
42 hari sampai Buda Kliwon Pahang
adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak
peliharaan, dan pawiwahan.
4.
Sugian Jawa
Hari
Wraspati Wage Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di pura, sanggah pamerajan dengan banten pareresik, punjung, canang burat wangi,
canang raka, memohon kesucian dan
kelestarian Bhuwana Agung (alam
semesta).
5.
Sugian Bali
Hari Sukra Kliwon Wuku
Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di pura, sanggah
pamerajan dengan banten pareresik,
punjung, canang burat wangi, canang
raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana
Alit (diri sendiri).
6.
Penyekeban
Hari Redite Paing Wuku
Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma.
Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia
yang ingin berperang atau berkelahi. Manusia agar menguatkan diri dengan memuja
Bhatara Siwa agar dijauhkan dari
sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis ibu-ibu memeram buah-buahan dan
membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
7.
Penyajaan
Hari Soma Pon Wuku Dungulan,
atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang
Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma.
Dungul dalam Bahasa Kawi artinya
takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat
manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.Manusia agar
lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu.
Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang
sifat dungul).
8.
Penampahan
Hari Anggara Wage Wuku
Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi
untuk berbuat adharma. Amangkurat
dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta
Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar
menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta
Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat). Secara simbolis memotong
babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai
simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai
menghilangkan sifat-sifat malas manusia. Sore hari ditancapkanlah penjor
lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun”
dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk
bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan
dalam Catur Weda di mana
masing-masing Weda disimbolkan dalam
hiasan penjor sebagai berikut:
1.
Lamak simbol Reg Weda
2.
Bakang-bakang simbol Atarwa Weda
3.
Tamiang simbol Sama Weda
4.
Sampian simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi
kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka
buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri
untuk menyambut hari raya Galungan.
9.
Galungan
Hari Buda Kliwon Wuku
Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk
adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-bhatari turun dari Kahyangan
memberkati umat manusia. Persembahyangan di pura, sanggah pamerajan bertujuan
mengucapkan terima kasih kepada Hyang
Widhi atas anugrah-Nya itu.
10.
Umanis Galungan
Hari Wraspati Umanis Wuku
Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan
syukur atas kemenangan Dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa
lalu. Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan Dharma dapat
dipertahankan pada diri kita seterusnya. Pemujaan di malam hari selama sembilan
malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan
Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa
Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja
Bhatara-bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu,
Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
11.
Pemaridan Guru
Hari Saniscara Pon Wuku
Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan
memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
12.
Ulihan
Hari Redite Wage Wuku
Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-bhatari
kembali ke Kahyangan, persembahyangan
di pura atau sanggah pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.
13.
Pamacekan Agung
Hari Soma Kliwon Wuku Kuningan,
5 hari setelah Galungan, melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta Kala agar tidak mengganggu manusia
sehingga Trihitakarana dapat
terwujud.
14.
Penampahan Kuningan
Hari Sukra Wage Wuku
Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) Hari Suci Kuningan. Malam harinya
persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata
Nawa Sangga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang
Tri Purusha (Siwa, Sada Siwa, Parama
Siwa).
15.
Kuningan
Hari Saniscara Kliwon Wuku
Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-bhatari turun dari Kahyangan
sampai tengah hari. Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas waranugraha-Nya berupa kekuatan Dharma serta memohon agar kita
senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma. Secara simbolis
membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti
sentana agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian Hari
Suci Galungan dan Kuningan. Selain itu menggantungkan tamiang di palinggih-palinggih
sebagai tameng atau perisai terhadap
serangan kekuatan adharma.
16.
Pegat Uwakan
Hari Buda Kliwon Wuku Phaang,
satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari
rangkaian Galungan. Pegat artinya
berpisah, dan uwak artinya kelalaian.
Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan Dharma dalam kehidupan
seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal
balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana
biasa.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Kata “Galungan” berasal dari bahasa
Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan
Dungulan, yang juga berarti menang. Sedangka Hari Suci Kuningan merupakan
bagian dari rangkaian Hari Suci Galungan yang jatuh pada 10 hari setelah
Hari Suci Galungan, yaitu pada Saniscara
Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan”
yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar
terhindar dari mara bahaya.
3.1.2 Rangkain
Hari Suci Galungan dan Kuningan dimulai dari Tumpek Wariga, Anggara Kasih Julungwangi, Buda
Pon Sungsang, Sugian Jawa, Sugian Bali, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan, Galungan, Umanis
Galungan, Pemaridan Guru, Ulihan, Pamacekan Agung, Penampahan Kuningan, Kuningan
dan Pegat Uwakan.
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah
Krtawo Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar