Jumat, 04 Januari 2019

SEKILAS HARI SUCI GALUNGAN DAN KUNINGAN




  1. Oleh:  I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.


Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Hari Suci Galungan dan Kuningan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan.
Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini. Ngaturang suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan kinasihan, tahu akan hutang budi.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hari Suci Galungan dan Kuningan
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Suci Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Diperkirakan, Galungan telah lama dirayakan Umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuno yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun çaka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
“…Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya….”
Artinya:
Perayaan Hari Suci Galungan itu pertama tama adalah pada hari Rabu Kliwon, Wuku Dungulan Sasih Kapat tanggal 15, tahun 804 çaka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh Umat Hindu di Bali secara meriah. Hari suci Galungan datang setiap 210 hari sekali dalam perhitungan Kalender Bali, 10 hrai kemudian disebut dengan Hari Suci Kuningan.
Hari Suci Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Suci Galungan yang jatuh pada 10 hari setelah Hari Suci Galungan, yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya. Jadi Kuningan mengandung janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan Dharma dan mengalahkan Adharma.
Pada Hari Suci Kuningan menggunakan banten yang berisi simbul tamiang dan endongan, makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam. Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala. Mengenai waktu persembahyangan pada Hari Suci Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai jam 12. Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya mohon perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala). Pada Hari Suci Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia  menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi. Dapat diambil kesimpulan melalui perayaan Hari Suci Kuningan inilah kita ingatkan untuk selalu ingat menyama braya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya serta tidak lupa akan ingat mengucap syukur kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.

2.2 Rangkaian Serta Makna Hari Suci Galungan  dan Kuningan
Berikut rangkaian upacara dan makan filosofi Hari Suci Galungan menurut Bhagawan Dwija:
1.   Tumpek Wariga
Jatuh pada hari Saniscara Kliwon Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
2.  Anggara Kasih Julungwangi
Hari Anggara Kliwon Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di sanggah pamerajan dan pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya Hari Suci Galungan.
3. Buda Pon Sungsang
Hari Buda Pon Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari sampai Buda Kliwon Pahang adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.
4. Sugian Jawa
Hari Wraspati Wage Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di pura, sanggah pamerajan dengan banten pareresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta).
5. Sugian Bali
Hari Sukra Kliwon Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di pura, sanggah pamerajan dengan banten pareresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
6. Penyekeban
Hari Redite Paing Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi. Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
7. Penyajaan
Hari Soma Pon Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
8. Penampahan
Hari Anggara Wage Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat). Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia. Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut:
1.   Lamak simbol Reg Weda
2.   Bakang-bakang simbol Atarwa Weda
3.   Tamiang simbol Sama Weda
4.   Sampian simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
9. Galungan
Hari Buda Kliwon Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di pura, sanggah pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.
10. Umanis Galungan
Hari Wraspati Umanis Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan Dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu. Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan Dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya. Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
11. Pemaridan Guru
Hari Saniscara Pon Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
12. Ulihan
Hari Redite Wage Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di pura atau sanggah pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.
13. Pamacekan Agung
Hari Soma Kliwon Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan, melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta Kala agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
14. Penampahan Kuningan
Hari Sukra Wage Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) Hari Suci Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sangga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa).
15. Kuningan
Hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari. Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas waranugraha-Nya berupa kekuatan Dharma serta memohon agar kita senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma. Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian Hari Suci Galungan dan Kuningan. Selain itu menggantungkan tamiang di palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.
16. Pegat Uwakan
Hari Buda Kliwon Wuku Phaang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan Dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Sedangka Hari Suci Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Suci Galungan yang jatuh pada 10 hari setelah Hari Suci Galungan, yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.
3.1.2 Rangkain Hari Suci Galungan dan Kuningan dimulai dari Tumpek Wariga, Anggara Kasih Julungwangi, Buda Pon Sungsang, Sugian Jawa, Sugian Bali, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan, Galungan, Umanis Galungan, Pemaridan Guru, Ulihan, Pamacekan Agung, Penampahan Kuningan, Kuningan dan Pegat Uwakan.
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar