Kamis, 05 April 2018

SEKLUMIT TENTANG DAUN UPAKARA

                









Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang untuk melihatnya. Bagi Umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu dan berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik simbol-simbol tersebut.
Setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi Umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya. Umat Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna di balik simbol-simbol tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan penjelasan bila tidak bersumber pada Kitab Suci Weda. Simbol-simbol Agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran ketuhanan, karena simbol-simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dari berbagai simbol yang dikenal oleh Umat Hindu salah satunya adalah upakara atau banten.
Upakara atau banten adalah sebagai media atau sarana untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten adalah sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai simbol alam semesta, dan sebagai simbol manusia itu sendiri, (Wiana, 2009: 34). Selain itu banten yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh Umat Hindu khususnya di Bali bukanlah sebagai makanan Beliau, melainkan hanya sebagai simbol semata, sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Wiana sebagai berikut: Banten bukanlah makanan untuk disuguhkan pada Hyang Widhi namun banten adalah bahasa simbol yang sakral menurut pandangan Hindu” (Wiana, 2001: 5). Sebagai bahasa simbol, banten merupakan media untuk penyampaian sradha dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setiap banten yang dibuat oleh Umat Hindu di Bali memiliki bentuk, fungsi, jenis, makna, dan simbol berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kebutuhannya.
Dalam kitab Bhagavadgita IX. 26, dicantumkan unsur-unsur daripada pembentuk upakara untuk yadnya disebutkan sebagai berikut:
Patram puşpam phalam toyam 
yo me bhaktyā prayacchati
Tad aham bhakty-upahrtam 
Aśnāmi prayatātmanah

Artinya:

Kalau orang yang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya (Prabhupada, 2006: 483).
Dari kutipan sloka di atas jelas dinyatakan bahwa unsur pembentuk utama dari banten adalah air, daun, bunga dan buah. Kemudian Pada buku Taman Gumi Banten disebutkan di antara ke empat unsur banten yang terkenal adalah bunga atau puspam hal itu disebabkan selain keindahan, pada umumnya bunga mempunyai bau yang harum, aroma yang harum ini mampu meningkatkan konsentrasi Umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan, selain itu dari bunga juga menimbulkan adanya buah, kemudian dilihat dari maknanya bunga adalah sebagai simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga bunga digunakan sebagai sarana persembahan (Tim Penyusun, 2010: 5).
Bunga, buah, daun dan air dibuat menjadi sebuah banten atau sesajen yang merupakan sarana persembahyangan Umat Hindu di Bali. Sarana persembahyangan tersebut memiliki bentuk, fungsi, makna dan simbol yang merupakan perwujudan tattwa Agama Hindu.
Tujuan dari penggunaan segala jenis isi bumi baik air, bunga, daun dan buah diyakini dapat meningkatkan atman yang terkandung dalam unsur tersebut penjelasan sesuai hal tersebut dapat disimak dalam salah satu isi sloka pada Manawa Dharmasastra V.40 yang dinyatakan sebagai berikut:
Osadyah paśavo vrksāstir yañcah paksinah tathā
yajñārtham nidhanam prāptāh prāpnu vantyucchrītih punah
Artinya:
Tumbuh-tumbuhan, semak, pepohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang (Pudja dan Sudharta, 2004: 234).

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih menekankan pada penggunaan simbol daun sebagai sarana upakara yadnya, karena daun memiliki peranan sebagai lamakan atau tapakan yang bermakna setata ulahaken ikang wasana enak yang artinya mendasari dasar kemauan untuk beryajna dengan lascarya (tulus ikhlas).
 
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daun Upakara
         Menyimak makna sebuah sloka dalam Kitab Suci Bhagavadgita yang berbunyi:
Patram puşpam phalam toyam 
yo me bhaktyā prayacchati
Tad aham bhakty-upahrtam 
Aśnāmi prayatātmanah
                                    (Bhagavadgita IX-26)
Siapaun yang dengan sujud bhkati kepadaKu mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Mencermati sloka yang telah diuraikan, maka daun juga merupakan salah satu sarana dalam upacara yadnya. Pengguanaan daun sebagai sarana upacara yadnya atau sarana pemujaan sesuai dengan sloka disebut patram yaitu wujud persembahan berupa daun yang memiliki nilai kesucian, yang dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi.
Daun atau sering disebut plawa telah disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa daun upakara atau plawa merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Tri Murti, harus dengan usaha untuk menumbuhkan pikiran yang suci dan hening. Kareana pikiran yang tumbuh menuju kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari nafsu duniawi.

2.2  Bentuk Daun Upakara
Segala ciptaan Tuhan di alam semesta ini semuanya bermanfaat bagi kehidupan umat manusia baik pengobatan atau usadha maupun sarana upakara. Tujuan dari penggunaan segala jenis isi bumi baik air, bunga, daun dan buah diyakini dapat meningkatkan atman yang terkandung dalam unsur tersebut penjelasan sesuai hal tersebut dapat disimak dalam salah satu isi sloka pada Manawa Dharmasastra V.40 yang dinyatakan sebagai berikut:
Osadyah paśavo vrksāstir yañcah paksinah tathā
yajñārtham nidhanam prāptāh prāpnu vantyucchrītih punah

Artinya:
Tumbuh-tumbuhan, semak, pepohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang (Pudja dan Sudharta, 2004:234).
Demikian halnya dalam Reg. Veda V.11.6 disebutkan sebagai berikut:
           
Tvām agne angirāso guhai hitām anu
āvindan chisriyanam vane-vane,
Sa jāyate mathya manah saho mahat
Twām ahuh sahasā putrām angirah

Artinya:

Wahai penguasa maha mulia, para pencari yang sungguh-sungguh menemukan pengetahuanmu, yang tetap tersembunyi dalam kerahasiaan, seperti nyala yang berlindung dari kayu-kayu. Sama dengan api dengan penggesekan, kemuliaan-Mu terwujud dengan kerja keras dan daya tahan luar biasa. Karena itu para bhakta memanggil-Mu, wahai penguasa tercinta, sumber kekuatan.
Didalam pelaksanaan upacara yadnya, bunga, buah, daun dan air dibuat menjadi sebuah banten atau sesajen yang merupakan sarana persembahyangan Umat Hindu di Bali pada khususnya. Sarana persembahyangan tersebut memiliki bentuk, fungsi, makna dan simbol yang merupakan perwujudan tattwa Agama Hindu. Khusus untuk daun, Umat Hindu mengenal beberapa daun yang bisa dijadikan sarana upakara yaitu: daun pisang (kik, kladi, mas, temaga, kayu, jati), daun pispisan, daun tebel-tebel, daun andong bang, daun putih kalah, daun bila, daun tampak liman, daun kayu sisih, daun base, daun paku aji, daun pilasa, daun kumbang, daun sulasih miik, daun intaran, daun sudamala, daun tuwung, daun angsana, daun bingin, daun kedukduk, daun kayu sugih, daun teg-teg, daun kemedangan, daun mendep, daun parijata, daun pancak, daun naga sari, daun cempaka, daun tulak, daun padang (ambengan, padang kemurungan, padang juti, padang lepas, padang kawat, padang derman, dan padang kasna), daun pandan (pandan wong dan pandan wangi), daun dapdap( wong, brahma, tis), daun anuduh, daun kelor, daun bambu (tipat pesor), daun delem, daun medori, daun kelapa (busung/janur, selepan, dan danyuh), daun enau (ambu dan ron), daun lontar, daun kayu sari, daun temen, daun delima, daun girang, daun pinang (upih), daun wandira, daun kemuning, daun korma, daun timbul, daun paku pidpid, daun nangka, daun kayu mas warna-warna, daun galing-galing, daun pucuk, daun awar-awar, daun terung bolo, daun sente, daun lateng, daun pemali, daun selisih, daun karuk, daun ketembe, daun soka asti, daun sulatri, daun bawan, daun sawi carik, daun miyana cemeng, daun simbar menjangan, daun tabiabun, daun saman sigi, daun jepun, daun takep-takep, daun dlundung, daun cendana, daun bengkel, daun dagdag, daun baus, daun ee, daun kayu sesuruh, daun kalianti, daun duren (simbol warna putih), daun croring (simbol warna kuning), daun poh (simbol warna hijau), daun manggis (simbol warna merah), daun salak (simbol panca warna) daun pugpug, daun sumaga, dan daun limau.

2.3 Fungsi Daun Upakara
2.3.1 Fungsi Persembahan
         Sesungguhnya upakara di samping sebagi persembahan atau  tanda terima kasih terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga mempunyai fungsi tertentu. Fungsi merupakan kegunaan suatu hal. Setiap sarana upakara diyakini memiliki fungsi tertentu. Seperti halnya daun yang digunakan sebagai sarana upakara. Daun atau plawa diisi pada bawah banten atau canang berfungsi sebagai lamakan atau tapakan yang bermakna untuk mengutamakan atas manah dan kemauan untuk beryajnya dengan tulus dan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci juga ngulahaken wasana ikang enak yang artinya mencari kerahayuan karma menjadi baik. Selain itu daun juga berfungsi sebagai berikut: (1) Daun sebagi linggih dan perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa dalam Prabawa-Nya sebagai Dewa Sangkara, (2) Daun sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan), (3) Daun sebagai sarana permohonan dan (4) Daun Sebagai penyucian lahir dan batin. Bagi Umat Hindu daun memiliki kedudukan yang tinggi didalam sebuah yadnya sehingga salah satu dari rangkaian yadnya agung ada yang disebut mekebat daun.

2.3.2 Fungsi Estetika
         Konsep keindahan begitu terlihat dalam berbagai jenis bentuk dan warna dedaunan yang bisa dijadikan sebagai pelengkap upakara. Sebuah upakara akan terlihat hidup dan menarik dengan hiasan daun janur yang diukir sedemikian rupa. Penjor yang dihiasi dengan daun puring dan daun lontar. Dan yang tidak kalah mempesona adalah ketika daun menjalankan fungsinya sebagai pengias jempana pada saat Ida Bhetara Turun Kabeh di Desa-desa kuno seperti: Desa Pakraman Bebandem, Desa Bugbug, Desa Datah, Desa Bungaya, dan Desa Tenganan Pegringsingan.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1.Daun atau palawa merupakan salah satu sarana dalam upacara yadnya yang merupakan wujud dari Dewa Sangkara sebagai Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan.
3.1.2 Penggunaan daun dalam upakara menyesuaikan dengan upakara yadnya yang kita buat, mulai dari bentuk daun segi lima, segi tiga, memanjang dan bulat memiliki peranan yang berbeda-beda.
3.1.3 Sesungguhnya daun di samping sebagi persembahan atau  tanda terima kasih terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga mempunyai fungsi tertentu baik fungsi persembahan maupun fungsi estetika.

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar