Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai
simbol, penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang untuk
melihatnya. Bagi Umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu dan
berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik simbol-simbol tersebut.
Setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari simbol-simbol. Simbol-simbol
tersebut merupakan media bagi Umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang
Pencipta, mengadakan dialog dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya. Umat
Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna di balik simbol-simbol tersebut,
banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan penjelasan bila
tidak bersumber pada Kitab Suci Weda. Simbol-simbol Agama Hindu sangat terkait
dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran ketuhanan, karena simbol-simbol
tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dari
berbagai simbol yang dikenal oleh Umat Hindu salah satunya adalah upakara atau banten.
Upakara
atau banten adalah sebagai media atau
sarana untuk menghubungkan diri kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Banten
adalah sebagai simbol Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, sebagai simbol alam
semesta, dan sebagai simbol manusia itu sendiri, (Wiana, 2009: 34). Selain itu banten yang dipersembahkan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
oleh Umat Hindu khususnya di
Bali bukanlah sebagai makanan Beliau, melainkan hanya sebagai simbol semata,
sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Wiana sebagai berikut: “Banten bukanlah makanan untuk disuguhkan
pada Hyang Widhi namun banten adalah bahasa simbol yang sakral
menurut pandangan Hindu” (Wiana,
2001: 5).
Sebagai bahasa simbol, banten
merupakan media untuk penyampaian sradha
dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setiap banten yang dibuat oleh Umat Hindu di
Bali memiliki bentuk, fungsi, jenis, makna, dan simbol berbeda-beda sesuai
dengan situasi dan kebutuhannya.
Dalam kitab Bhagavadgita IX. 26, dicantumkan
unsur-unsur daripada pembentuk upakara
untuk yadnya disebutkan sebagai
berikut:
Patram puşpam phalam
toyam
yo me bhaktyā
prayacchati
Tad aham
bhakty-upahrtam
Aśnāmi prayatātmanah
Artinya:
Kalau orang yang
mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Aku akan
menerimanya (Prabhupada, 2006: 483).
Dari kutipan sloka di atas
jelas dinyatakan bahwa unsur pembentuk utama dari banten adalah air, daun, bunga dan buah. Kemudian Pada buku Taman Gumi Banten disebutkan di antara ke empat unsur banten yang terkenal adalah bunga atau puspam hal itu disebabkan selain keindahan, pada umumnya bunga
mempunyai bau yang harum, aroma yang harum ini mampu meningkatkan konsentrasi Umat
Hindu dalam melaksanakan persembahyangan, selain itu dari bunga juga
menimbulkan adanya buah, kemudian dilihat dari maknanya bunga adalah sebagai
simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
sehingga bunga digunakan sebagai sarana persembahan (Tim Penyusun, 2010: 5).
Bunga, buah, daun dan air dibuat menjadi
sebuah banten atau sesajen yang merupakan sarana
persembahyangan Umat Hindu di Bali. Sarana persembahyangan tersebut memiliki
bentuk, fungsi, makna dan simbol yang merupakan perwujudan tattwa Agama Hindu.
Tujuan dari penggunaan segala jenis isi
bumi baik air, bunga, daun dan buah diyakini dapat meningkatkan atman yang terkandung dalam unsur
tersebut penjelasan sesuai hal
tersebut dapat disimak dalam salah satu isi sloka pada Manawa
Dharmasastra V.40 yang dinyatakan
sebagai berikut:
Osadyah paśavo vrksāstir
yañcah paksinah tathā
yajñārtham nidhanam prāptāh prāpnu vantyucchrītih punah
Artinya:
Tumbuh-tumbuhan, semak, pepohonan, ternak, burung-burung lain
yang telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada
kelahiran yang akan datang (Pudja dan Sudharta, 2004: 234).
Dalam
penulisan karya ilmiah ini penulis lebih menekankan pada penggunaan simbol daun
sebagai sarana upakara yadnya, karena
daun memiliki peranan sebagai lamakan
atau tapakan yang bermakna setata ulahaken ikang wasana enak yang
artinya mendasari dasar kemauan untuk beryajna dengan lascarya (tulus ikhlas).
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daun Upakara
Menyimak makna sebuah sloka dalam Kitab Suci Bhagavadgita yang berbunyi:
Patram puşpam phalam
toyam
yo me bhaktyā
prayacchati
Tad aham
bhakty-upahrtam
Aśnāmi prayatātmanah
(Bhagavadgita
IX-26)
Siapaun yang dengan sujud
bhkati kepadaKu mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah,
seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati
suci.
Mencermati sloka yang telah diuraikan, maka daun juga merupakan salah satu
sarana dalam upacara yadnya.
Pengguanaan daun sebagai sarana upacara
yadnya atau sarana pemujaan sesuai dengan sloka disebut patram
yaitu wujud persembahan berupa daun yang memiliki nilai kesucian, yang
dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi.
Daun atau
sering disebut plawa telah disebutkan
dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa
daun upakara atau plawa merupakan
lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Tuhan dalam
manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Tri
Murti, harus dengan usaha untuk menumbuhkan pikiran yang suci dan hening.
Kareana pikiran yang tumbuh menuju kesucian dan keheningan itulah yang akan
dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari nafsu duniawi.
2.2 Bentuk Daun Upakara
Segala ciptaan Tuhan di alam semesta ini semuanya
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia baik pengobatan atau usadha maupun sarana upakara. Tujuan
dari penggunaan segala jenis isi bumi baik air, bunga, daun dan buah diyakini
dapat meningkatkan atman yang
terkandung dalam unsur tersebut penjelasan
sesuai hal tersebut dapat disimak dalam salah satu isi sloka pada Manawa Dharmasastra V.40 yang dinyatakan sebagai berikut:
Osadyah paśavo
vrksāstir yañcah paksinah tathā
yajñārtham nidhanam
prāptāh prāpnu vantyucchrītih punah
Artinya:
Tumbuh-tumbuhan,
semak, pepohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara,
akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang
(Pudja dan Sudharta, 2004:234).
Demikian halnya dalam Reg.
Veda V.11.6 disebutkan sebagai berikut:
Tvām agne angirāso
guhai hitām anu
āvindan chisriyanam
vane-vane,
Sa jāyate mathya
manah saho mahat
Twām ahuh sahasā
putrām angirah
Artinya:
Wahai penguasa maha mulia,
para pencari yang sungguh-sungguh menemukan pengetahuanmu, yang tetap
tersembunyi dalam kerahasiaan, seperti nyala yang berlindung dari kayu-kayu.
Sama dengan api dengan penggesekan, kemuliaan-Mu terwujud dengan kerja keras
dan daya tahan luar biasa. Karena itu para bhakta
memanggil-Mu, wahai penguasa tercinta, sumber kekuatan.
Didalam
pelaksanaan upacara yadnya, bunga,
buah, daun dan air dibuat menjadi sebuah banten
atau sesajen yang merupakan sarana
persembahyangan Umat Hindu di Bali pada khususnya. Sarana persembahyangan
tersebut memiliki bentuk, fungsi, makna dan simbol yang merupakan perwujudan tattwa Agama Hindu. Khusus untuk daun,
Umat Hindu mengenal beberapa daun yang bisa dijadikan sarana upakara yaitu: daun
pisang (kik, kladi, mas, temaga, kayu, jati), daun pispisan, daun tebel-tebel, daun
andong bang, daun putih kalah, daun bila, daun tampak liman, daun kayu sisih,
daun base, daun paku aji, daun pilasa, daun kumbang, daun sulasih miik, daun
intaran, daun sudamala, daun tuwung, daun angsana, daun bingin, daun kedukduk,
daun kayu sugih, daun teg-teg, daun kemedangan, daun mendep, daun parijata,
daun pancak, daun naga sari, daun cempaka, daun tulak, daun padang (ambengan,
padang kemurungan, padang juti, padang lepas, padang kawat, padang derman, dan
padang kasna), daun pandan (pandan wong dan pandan wangi), daun dapdap( wong,
brahma, tis), daun anuduh, daun kelor, daun bambu (tipat pesor), daun delem,
daun medori, daun kelapa (busung/janur, selepan, dan danyuh), daun enau (ambu
dan ron), daun lontar, daun kayu sari, daun temen, daun delima, daun girang,
daun pinang (upih), daun wandira, daun kemuning, daun korma, daun timbul, daun
paku pidpid, daun nangka, daun kayu mas warna-warna, daun galing-galing, daun
pucuk, daun awar-awar, daun terung bolo, daun sente, daun lateng, daun pemali,
daun selisih, daun karuk, daun ketembe, daun soka asti, daun sulatri, daun
bawan, daun sawi carik, daun miyana cemeng, daun simbar menjangan, daun tabiabun,
daun saman sigi, daun jepun, daun takep-takep, daun dlundung, daun cendana,
daun bengkel, daun dagdag, daun baus, daun ee, daun kayu sesuruh, daun
kalianti, daun duren (simbol warna putih), daun croring (simbol warna kuning),
daun poh (simbol warna hijau), daun manggis (simbol warna merah), daun salak
(simbol panca warna) daun pugpug, daun sumaga, dan daun limau.
2.3 Fungsi Daun Upakara
2.3.1 Fungsi
Persembahan
Sesungguhnya
upakara di samping sebagi persembahan
atau tanda terima kasih terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga
mempunyai fungsi tertentu. Fungsi merupakan kegunaan suatu hal. Setiap sarana upakara diyakini memiliki fungsi
tertentu. Seperti halnya daun yang
digunakan sebagai sarana upakara. Daun atau plawa diisi pada bawah
banten atau canang berfungsi sebagai lamakan
atau tapakan yang bermakna untuk
mengutamakan atas manah dan kemauan untuk beryajnya dengan tulus dan lambang
tumbuhnya pikiran yang hening dan suci juga ngulahaken
wasana ikang enak yang artinya mencari kerahayuan karma menjadi baik.
Selain itu daun juga berfungsi
sebagai berikut: (1) Daun sebagi
linggih dan perwujudan Sang Hyang Widhi
Wasa dalam Prabawa-Nya sebagai Dewa
Sangkara, (2) Daun sebagai sarana
cetusan angayu bagia (persembahan),
(3) Daun sebagai sarana permohonan dan
(4) Daun Sebagai penyucian lahir dan
batin. Bagi Umat Hindu daun memiliki kedudukan yang tinggi didalam sebuah
yadnya sehingga salah satu dari rangkaian yadnya agung ada yang disebut mekebat daun.
2.3.2 Fungsi Estetika
Konsep keindahan begitu terlihat dalam
berbagai jenis bentuk dan warna dedaunan yang bisa dijadikan sebagai pelengkap
upakara. Sebuah upakara akan terlihat hidup dan menarik dengan hiasan daun
janur yang diukir sedemikian rupa. Penjor yang dihiasi dengan daun puring dan
daun lontar. Dan yang tidak kalah mempesona adalah ketika daun menjalankan
fungsinya sebagai pengias jempana
pada saat Ida Bhetara Turun Kabeh di
Desa-desa kuno seperti: Desa Pakraman
Bebandem, Desa Bugbug, Desa Datah, Desa Bungaya, dan Desa Tenganan
Pegringsingan.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1.Daun atau palawa merupakan salah satu sarana dalam upacara yadnya yang merupakan wujud dari Dewa Sangkara sebagai Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan.
3.1.2 Penggunaan daun dalam upakara menyesuaikan
dengan upakara yadnya yang kita buat,
mulai dari bentuk daun segi lima, segi tiga, memanjang dan bulat memiliki
peranan yang berbeda-beda.
3.1.3 Sesungguhnya daun
di samping sebagi persembahan atau tanda
terima kasih terhadap Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, juga mempunyai fungsi tertentu baik fungsi persembahan maupun
fungsi estetika.
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
A No Badrah Krtawo
Yantu Wiswatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar