Minggu, 10 September 2017

MITOLOGI TUMPENG PINGIT



Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Rujukan: Skripsi karya I Nyoman Suda, S.Pd.
Om Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya
Desa Pakraman Bebandem merupakan salah satu Desa Pakraman yang terdapat di Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem yang masih melestarikan tradisi-tradisi unik yang sarat akan nilai spiritual seperti:
Ngusabha Kungkang, Majurag Katipat, Memanggung Jempana, Ngusabha Kaja, Ngusabha Sri, dll. Sebelumnya sudah dibahas mengenai sejarah Desa Pakraman Bebandem, nah kali ini akan dibahas mengeni mitologi Tumpeng Pingit pada Ngusabha Gumi di Desa Pakraman Bebandem. Seperti apa ceritanya?, silakan dibaca di bawah ini.
Sebelum Raja Bali Sri Jaya Pangus menganugrahkan prasasti yang bernama Prasasti Bahung Teringan pada tahun Çaka 1103 dan merestui kawasan Tihingan menjadi Desa Adat Bahung Teringan, di kawasan ini telah ditemukan sebuah bangunan suci tempat pemujaan yang bernama Wihara Bahung. Wihara ini diyakini didirikan oleh seorang Brahmana Budha yang bernama Dangyang Dwijakangka yang berasal dari Kerajaan Kalingga (Jawa). Di tempat ini Danghyang Dwijakangka melakukan wana prasta nangun yoga samadhi (Prasasti Bahung Teringan C. 1103. No. 552. 1).
Setelah berjalan beberapa tahun, tidak ada yang mengetahui keberadaan Danghyang Dwijakangka. Krama Desa juga tidak ada yang mengetahui kapan dan kemana Beliau pergi. Sejak saat itu Krama Desa Petang Dasa tetap melakukan pemujaan di tempat itu. Pada suatu hari, ditempat itu terlihat seorang wanita yang memiliki wajah yang sangat cantik, menandingi wajah seorang bidadari. Krama Desa tidak ada yang mengetahui asal-usul wanita cantik tersebut. Tidak ada seorang pun dari Krama Desa Petang Dasa yang berani menyapa wanita itu. Seiring berjalannya waktu, wanita tersebut terlihat sedang mengandung. Krama Desa semakin resah dengan keadaan tersebut, mengingat wanita itu tidak memiliki suami.
Diceritakan wanita cantik itu sedang hamil besar dan melahirkan anaknya di sungai dekat dengan Wihara Bahung (tepatnya di sungai krekuk yang berada disebelah timur wihara atau kayehan dedari sekarang). Bayi tersebut dilahirkan di atas batu besar yang bentuknya pipih. Ketika bayi itu lahir, batu besar tersebut pecah. Tangisan bayi tersebut didengar oleh seorang laki-laki yang sedang nyeser (mencari ikan di sungai). Laki-laki tersebut bertanya kepada wanita cantik itu, akan tetapi beberapa pertanyaannya tidak dijawab. Pada akhirnya wanita cantik tersebut tiba-tiba menghilang. Laki-laki itu bingung, dia berusaha untuk membersihkan bayi dengan air sungai yang datangnya dari barat laut hulu sungai. Bayi tersebut selanjutnya dibesarkan dan diberi nama Teruna Gede Bagus. Bayi ini sangat berbeda dengan bayi kebanyakan. Dia memiliki kekuatan makan yang sangat luar biasa sampai pada akhirnya pengasuh bayi tersebut merasa kewalahan untuk memberikan makan. Pengasuh bayi tersebut mempunyai inisiatif untuk menyerahkan bayi tersebut kepada Krama Desa. Namun desa adat juga mengalami kesulitan untuk memberikannya makan.
Pada suatu hari, Krama Desa di bawah pimpinan Gede Pasek Tegeh yang didampingi oleh Ki Kebayan Sakti mengadakan pertemuan untuk membahas tentang Teruna Gede Bagus. Hasil pertemuan memutuskan bahwa krama desa sepakat akan mengadakan eka winaya untuk membunuh Teruna Gede Bagus dengan cara menguburnya hidup-hidup ke dalam sumur. Teruna Gede Bagus dipanggil Jero Bendesa untuk membersihkan diri ke dalam sebuah sumur. Sebelum itu dia harus membuat sumur yang dalam sampai keluar air. Sumur itu berada di Pura Gumi, tepatnya di sebelah Timur Laut yaitu terletak di Pura Taman sekarang. Pada saat Teruna Gede Bagus itu sedang asyik membuat sumur, Krama Desa Petang Dasa mengubur Teruna Gede Bagus hidup-hidup di dalam sumur yang dibuatnya sendiri sampai rata dengan tanah.
 Alawas-lawas pwa sira gumeter ikang pertiwi, lindu kadi tibening parwata”. (setelah beberapa lama, bumipun bergetar sangat dahsyat, gempa seperti tertimpa reruntuhan gunung). Bangunan suci pun runtuh semuanya. Tidak ada yang percaya kalau yang menyebabkan bumi bergetar adalah Teruna Gede Bagus yang semula dikubur di dalam sumur ternyata bisa meledakkan sumur dan berdiri dengan tegak di atas sumur sambil tersenyum-senyum. Teruna Desa Bagus baru mengetahui, bahwa dirinya akan dibunuh di dalam sumur oleh Krama Desa. Akan tetapi Teruna Gede Bagus tidak bisa dibunuh dengan senjata, tidak bisa dibakar dengan api. Teruna Gede Bagus meminta kepada Jero Bendesa, dengan bersabda: “yen kenten tatujon desane, tyang nunas ring Jero Bendesa, yen sampun tyang tuun ring semere, darika pralina tyang nganggen aksara. Ring Jero Kebayan, buin pidan nyidayang desane makarya maaci-aci, tangyang tyang aji Tumpeng lalima, pinaka perlambang linggan Panca Maha Mertha” (kalau begitu  tujuan desa, saya minta kepada Jero Bendesa, kalau saya sudah turun ke sumur, disana bunuhlah saya dengan aksara. Untuk Jero Kebayan, kapan desa bisa melaksanakan upacara (aci-aci), pada saat itu buatkan saya simbolis dengan Tumpeng 5 buah, sebagai lambang Panca Maha Mertha). Selajutnya Teruna Gede Bagus turun ke dalam sumur. Jero Bendesa, Ki Kebayan Sakti dan Krama Desa mulai mempersiapkan upacara pralina. Setelah kejadian itu, desa mulai melakukan pertemuan untuk membahas pembangunan Khyangan di desa adat. Cerita tersebut merupakan asal mula pembuatan Tumpeng Pingit yang dipersembahkan pada acara Ngusaba Gumi di Desa Pakraman Bebandem. Tumpeng tersebut berjumlah 5 buah sebagai simbol Panca Maha Mertha yang meliputi: (1) Simbolis Widyadari Gagar Mayang sebagai prabhawa-Nya dalam kekutan Sang Hyang Iswara untuk menganugrahi kekuatan serta kesucian sekala dan niskala, (2) Simbolis Widyadari Saraswati sebagai prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma untuk menganugrahi kekuatan kapradnyanan (kecerdasan) dan kewibawaan, (3) Simbolis Widyadari Ken Sulasih sebagai prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa untuk menganugrahi kekuatan instuisi, (4) Simbolis Widyadari Nilotama sebagai prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu untuk menganugrahi kekuatan paleburan mala (segala bentuk kekotoran jiwa dan raga), dan (5) Simbolis Widyadari Supraba sebagai prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa untuk menganugrahi kekuatan pembebasan (moksa). MOGI RAHAYU
Om Santih, Santih, Santih Om
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar