Oleh:
I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Rujukan:
Skripsi karya I Nyoman Suda, S.Pd.
Om
Swastyastu
Om Awighnam astu Namasiwa Budhaya
Desa Pakraman Bebandem merupakan salah satu Desa Pakraman
yang terdapat di Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem yang masih
melestarikan tradisi-tradisi unik yang sarat akan nilai spiritual seperti:
Ngusabha
Kungkang, Majurag Katipat, Memanggung Jempana, Ngusabha
Kaja, Ngusabha Sri, dll. Sebelumnya sudah dibahas mengenai sejarah
Desa Pakraman Bebandem, nah kali ini akan dibahas mengeni mitologi Tumpeng
Pingit pada Ngusabha Gumi di Desa Pakraman Bebandem. Seperti apa
ceritanya?, silakan dibaca di bawah ini.
Sebelum Raja Bali Sri Jaya Pangus menganugrahkan
prasasti yang bernama Prasasti Bahung
Teringan pada tahun Çaka 1103 dan merestui kawasan Tihingan menjadi Desa Adat Bahung Teringan, di kawasan
ini telah ditemukan sebuah bangunan suci tempat pemujaan yang bernama Wihara
Bahung. Wihara ini diyakini didirikan oleh seorang Brahmana Budha yang bernama Dangyang Dwijakangka yang berasal dari
Kerajaan Kalingga (Jawa). Di tempat ini Danghyang
Dwijakangka melakukan wana prasta nangun yoga samadhi (Prasasti Bahung Teringan C. 1103.
No. 552. 1).
Setelah berjalan beberapa tahun, tidak ada yang mengetahui keberadaan Danghyang Dwijakangka. Krama Desa
juga tidak ada yang mengetahui kapan dan kemana Beliau pergi. Sejak saat itu Krama
Desa Petang Dasa tetap melakukan pemujaan
di tempat itu. Pada suatu hari, ditempat itu terlihat seorang wanita yang
memiliki wajah yang sangat cantik, menandingi wajah seorang bidadari. Krama Desa
tidak ada yang mengetahui asal-usul wanita cantik tersebut. Tidak ada seorang
pun dari Krama Desa Petang Dasa
yang berani menyapa wanita itu. Seiring berjalannya waktu, wanita tersebut
terlihat sedang mengandung. Krama Desa semakin resah dengan keadaan
tersebut, mengingat wanita itu tidak memiliki suami.
Diceritakan wanita cantik itu sedang hamil besar dan melahirkan anaknya di
sungai dekat dengan Wihara Bahung (tepatnya di sungai krekuk yang
berada disebelah timur wihara atau kayehan dedari sekarang). Bayi tersebut
dilahirkan di atas batu besar yang bentuknya pipih. Ketika bayi itu lahir, batu
besar tersebut pecah. Tangisan bayi tersebut didengar oleh seorang laki-laki
yang sedang nyeser (mencari ikan di sungai). Laki-laki tersebut bertanya
kepada wanita cantik itu, akan tetapi beberapa pertanyaannya tidak dijawab.
Pada akhirnya wanita cantik tersebut tiba-tiba menghilang. Laki-laki itu
bingung, dia berusaha untuk membersihkan bayi dengan air sungai yang datangnya
dari barat laut hulu sungai. Bayi tersebut selanjutnya dibesarkan dan diberi
nama Teruna Gede Bagus. Bayi ini
sangat berbeda dengan bayi kebanyakan. Dia memiliki kekuatan makan yang sangat
luar biasa sampai pada akhirnya pengasuh bayi tersebut merasa kewalahan untuk
memberikan makan. Pengasuh bayi tersebut mempunyai inisiatif untuk menyerahkan
bayi tersebut kepada Krama Desa. Namun desa adat juga mengalami
kesulitan untuk memberikannya makan.
Pada suatu hari, Krama Desa di bawah pimpinan Gede Pasek Tegeh yang didampingi oleh Ki Kebayan Sakti mengadakan pertemuan untuk membahas tentang Teruna
Gede Bagus. Hasil pertemuan memutuskan bahwa krama desa sepakat akan
mengadakan eka winaya untuk membunuh Teruna Gede Bagus dengan
cara menguburnya hidup-hidup ke dalam sumur. Teruna Gede Bagus dipanggil
Jero Bendesa untuk membersihkan diri
ke dalam sebuah sumur. Sebelum itu dia harus membuat sumur yang dalam sampai
keluar air. Sumur itu berada di Pura Gumi, tepatnya di sebelah Timur
Laut yaitu terletak di Pura Taman sekarang. Pada saat Teruna Gede Bagus itu
sedang asyik membuat sumur, Krama Desa Petang Dasa mengubur Teruna Gede Bagus hidup-hidup di dalam sumur
yang dibuatnya sendiri sampai rata dengan tanah.
“Alawas-lawas
pwa sira gumeter ikang pertiwi, lindu kadi tibening parwata”. (setelah
beberapa lama, bumipun bergetar sangat dahsyat, gempa seperti tertimpa
reruntuhan gunung). Bangunan suci pun runtuh semuanya. Tidak ada yang percaya
kalau yang menyebabkan bumi bergetar adalah Teruna Gede Bagus yang
semula dikubur di dalam sumur ternyata bisa meledakkan sumur dan berdiri dengan
tegak di atas sumur sambil tersenyum-senyum. Teruna Desa Bagus baru
mengetahui, bahwa dirinya akan dibunuh di dalam sumur oleh Krama Desa.
Akan tetapi Teruna Gede Bagus tidak bisa dibunuh dengan senjata, tidak
bisa dibakar dengan api. Teruna Gede Bagus meminta kepada Jero Bendesa, dengan bersabda: “yen
kenten tatujon desane, tyang nunas ring Jero Bendesa, yen sampun tyang tuun
ring semere, darika pralina tyang nganggen aksara. Ring Jero Kebayan, buin
pidan nyidayang desane makarya maaci-aci, tangyang tyang aji Tumpeng lalima,
pinaka perlambang linggan Panca Maha Mertha” (kalau begitu tujuan desa, saya minta kepada Jero Bendesa, kalau saya sudah turun ke
sumur, disana bunuhlah saya dengan aksara. Untuk Jero Kebayan, kapan
desa bisa melaksanakan upacara (aci-aci),
pada saat itu buatkan saya simbolis dengan Tumpeng 5 buah, sebagai
lambang Panca Maha Mertha).
Selajutnya Teruna Gede Bagus turun ke dalam sumur. Jero Bendesa, Ki Kebayan
Sakti dan Krama Desa mulai mempersiapkan upacara pralina. Setelah
kejadian itu, desa mulai melakukan pertemuan untuk membahas pembangunan Khyangan
di desa adat. Cerita tersebut merupakan asal mula pembuatan Tumpeng Pingit yang
dipersembahkan pada acara Ngusaba Gumi di Desa Pakraman Bebandem.
Tumpeng tersebut berjumlah 5 buah sebagai simbol Panca Maha Mertha
yang meliputi: (1) Simbolis Widyadari Gagar Mayang sebagai prabhawa-Nya dalam kekutan Sang Hyang Iswara untuk menganugrahi
kekuatan serta kesucian sekala dan niskala, (2) Simbolis Widyadari Saraswati sebagai prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma untuk menganugrahi
kekuatan kapradnyanan (kecerdasan)
dan kewibawaan, (3) Simbolis Widyadari
Ken Sulasih sebagai prabhawa-Nya
dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa
untuk menganugrahi kekuatan instuisi, (4) Simbolis Widyadari Nilotama sebagai prabhawa-Nya
dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu untuk
menganugrahi kekuatan paleburan mala
(segala bentuk kekotoran jiwa dan raga), dan (5) Simbolis Widyadari Supraba sebagai prabhawa-Nya
dalam kekuatan Sang Hyang Siwa untuk
menganugrahi kekuatan pembebasan (moksa).
MOGI RAHAYU
Om Santih, Santih,
Santih Om
Om A No Badrah Krtawo Yantu Wiswatah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar