Oleh: I Wayan Putu Januartawa, S.Pd.
Desa Pakraman Bebandem pada zaman dahulu bernama Desa Adat Bahung Teringan. Pusat kepemerintahannya terletak di Banjar Tihingan, tepatnya di Pura Panti sekarang. Pada tahun Çaka 1103, Raja Bali menganugrahkan sebuah prasasti yang bernama Prasasti Bahung Teringan. Pada saat itu kawasan ini disahkan menjadi desa adat yang bernama Desa Adat Bahung Teringan. Prasasti tersebut disimpan di Pura Gumi, dan dikeramatkan sampai sekarang.
Dari cerita tersebut, maka sebuah nama Tihingan berasal dari kata Teringan, sedangkan kata Panti yaitu Pura Panti merupakan tempat berkumpulnya atau tempat perarem para pendahulu Desa Adat. Pada awalnya Krama Desa Adat berjumlah 30 orang, selanjutnya bertambah menjadi 40 orang, yang sekarang menjadi Krama Muwed Petang Dasa. Nama-nama Krama Desa Muwed Petang Dasa pada saat itu adalah: (1) Sri Nawi, (2) Rumia, (3) Sridep, (4) I Marta, (5) Rugrug, (6) Krana, (7) Rumadi, (8) I Rum, (9) I Darma, (10) I Sarwi, (11) I Sukra, (12) I Wanti, (13) I Kara, (14) I Damia, (15) I Gandul, (16) I Lugas, (17) I Kutang, (18) I Jarni, (19) I Ambul, (20) Sri Kanti, (21) I Nardi, (22) Rupi, (23) Diari, (24) Karmi, (25) Rena, (26) Sri Gati, (27) Wirna, (28) Bagiani, (29) I Lipet, (30) I Gama, (31) Mangku Kresnu, (32) I Tinggen, (33) I Namrig, (34) I Darni, (35) I Komang Pura, (36) I Nengah Mundri, (37) I Wayan Pande, (38) I Made Wenten, (39) I Wayan Pageh dan (40) I Gedeg (Awig-awig Desa Pakraman Bebandem).
Dari Pura Panti inilah prosesi atau paruman-paruman dalam upaya untuk membentuk desa adat. Setelah melakukan beberapa pertemuan akhirnya Raja Bali mengijinkan Krama Petang Dasa untuk mengambil Bale Agung yang semula berada di Desa Komala, untuk digunakan sebagai Bale Agung Desa Adat Bahung Teringan. Namun Krama Desa Petang Dasa sangat yakin kalau Desa Komala tidak akan memberikannya. Pada suatu malam, dengan segala persiapan dan didukung oleh kekuatan gaib, Krama Desa Petang Dasa yang dipimpin oleh Jero Bendesa (Gede Pasek Tegeh) berangkat menuju Desa Komala dan mengambil Bale Agung tersebut.
Krama Desa Petang Dasa yang dipimpin oleh Gede Pasek Tegeh dan didampingi oleh Jero Kubayan Sakti, berhasil mengangkat Bale Agung tanpa melepas peralatannya. Bale agung berhasil diangkat dan diseberangkan ke barat sungai Krekuk, selanjutnya berhenti di Desa Tatag. Pada saat Bale Agung itu diangkat, Krama Desa Komala tertidur lelap, sehingga keesokan harinya Bale Agung telah hilang. Di Desa Tatag inilah selanjutnya Bale Agung tersebut disembunyikan, karena malam sudah menjelang pagi, kekuatan-kekuatan gaib telah berkurang. Selama disembunyikan di Desa Tatag, masyarakat Komala juga tidak mengetahui keberadaan Bale Agung tersebut. Kemudian Krama Desa Petang Dasa memilih malam yang baik untuk melanjutkan mengangkat Bale Agung tersebut sampai di Pura Panti sekarang.
Diceritakan sampailah Bale Agung tersebut di Pura Panti. Pura Panti inilah yang menjadi pusat pemerintahan Desa Adat Bahung Teringan. Setelah berjalan beberapa tahun, Krama Desa Petang Dasa melakukan paruman untuk memindahkan Bale Agung tersebut ke Bebalang (Bebandem sekarang). Adapun yang menjadi dasar pertimbangan seperti : (1) Agar keberadaan Bale Agung jauh dari Desa Komala, (2) Agar Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem dekat dengan setra, serta setra harus di teben desa, dekat dengan Wihara Bahung (Pura Gumi), dan (3) Agar Kahyangan Tiga strategis sesuai dengan Padma Bhuana Besakih.
Pada suatu hari, Krama Desa Petang Dasa memindahkan Bale Agung dari Pura Panti ke Bebalang dan menetap sampai sekarang di Bebandem. Seiring dengan berjalannya pemerintahan desa adat, keadaan penduduk juga bertambah dan membuat kelompok-kelompok yang disebut dengan Banjar, yang terdiri dari 6 kelompok yaitu: Tihingan, Bebandem, Kayuputih, Tunggak, Dukuh, dan Nagasari. Selanjutnya Banjar tersebut juga mengalami perkembangan. Tihingan menjadi 3 Banjar, Bebandem menjadi 2 Banjar. Sehingga Desa Adat Bahung Teringan terdiri dari 9 Banjar.
Sekitar tahun Çaka 1700, Desa Adat Bebandem mengalami permasalahan dengan Banjar Adat Dukuh, Banjar Adat Nagasari, dan Banjar Adat Tunggak. Akan tetapi permasalahan tersebut berhasil diselesaikan oleh Raja Karangasem yaitu Ida I Gusti Ngurah. Raja Karangasem memberikan keputusan terhadap Banjar Adat Dukuh, Banjar Adat Nagasari, dan Banjar Adat Tunggak untuk nyabu ke Desa Adat yang disebut Banjar Adat Sesabu Dukuh, Banjar Adat Sesabu Tunggak, dan Banjar Adat Sesabu Nagasari, serta ketiga Banjar adat tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama di Desa Adat Bebandem.
Kurang lebih Çaka 1700 di Desa Adat Bebalang mengalami pergolakan sehingga terjadi krisis kepemimpinan, maka Krama Desa Petang Dasa datang ke Banjar Adat Sesabu Dukuh memohon agar keturunan dari Sang Putus I Gusti Bandem menjadi Pamucuk/Bendesa. Maka sejak saat itulah Desa Adat Bebalang berubah nama menjadi Desa Adat Bebandem. Perubahan nama Desa Adat Bebandem tersebut sebagai perwujudan rasa hormat Krama Desa Pakraman Bebandem kepada keturunan I Gusti Bandem, yang pada saat itu dimohon menjadi Pamucuk/Bendesa. Kata Bebandem berasal dari dua suku kata yaitu Be dan Bandem. Be diambil dari kata depan Bebalang, sedangkan Bandem diambil dari nama belakang I Gusti Bandem. Dengan penggabungan menjadi Bebandem. I Gusti Bandem merupakan putra dari Ida Dalem Tarukan dengan Jro Sekar (Lontar Babad Pulasari No. 1069, koleksi Gedung Kertia). Sampai sekarang organisasi kemasyarakatan Krama Desa Muwed Petang Dasa masih ada di Desa Pakraman Bebandem yang dilanjutkan oleh keturunan Krama Desa Muwed Petang Dasa terdahulu. Nama-nama Krama Desa Muwed Petang Dasa yang sekarang adalah: (1) I Nyoman Ardana, (2) I Gede Warni, (3) I Nengah Sri Gati, (4) I Ketut Marta, (5) I Wayan Rugrug, (6) I Gede Puri, (7) I Nyoman Taman, (8) I Nengah Lami, (9) I Wayan Darma, (10) I Nyoman Manis, (11) I Wayan Catri, (12) I Nyoman Wanti, (13) I Nyoman Putu, (14) I Gede Sunia, (15) I Nengah Murda, (16) I Wayan Renge, (17) I Nengah Rinta, (18) I Nengah Sarni, (19) I Nengah Winda, (20) I Wayan Rintin, (21) I Komang Sukerta, (22) I Nyoman Rupi, (23) I Nengah Rani, (24) I Ketut Karsi, (25) I Gede Rena, (26) I Nengah Srigati, (27) I Nyoman Wirna, (28) I Gede Sukarti, (29) I Wayan Wan, (30) I Nengah Guni, (31) I Wayan Putri, (32) I Nengah Sukerti, (33) I Wayan Namrig, (34) I Ketut Darni, (35) I Komang Pura, (36) I Nengah Mundri, (37) I Wayan Pande, (38) I Nyoman Puspa, (39) I Wayan Pageh, dan (40) keturunan I Gedeg sudah diberhentikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar