Minggu, 08 Oktober 2017

MENGENAL GUNUNG AGUNG



I Wayan Putu Januartawa.S.Pd.
           Hayy gesss…. Sudah bisa move on dari isu akan meletusnya Gunung Agung?? Ngeri eaa, mendengar berita tersebut takutnya minta ampun, kaya mau sidang Skripsi gitu low,,, dag, dig, dug, serr!!!! ….. bahkan seperti kembali ke tahun 1965 gerakan 30 S PKI, greget banget ea….berlatar belakang dari berita adanya peningkatan aktivitas Gunung Api Agung atau level awas yang mengarah pada erupsi, banyak sekali berita-berita di sosmed dari berbagai sumber entah itu fakta atau sekedar HOAX….yaelah, taulah manusia zaman sekarang cari sensasi ujung-ujunya ingin terkenal….adeeecchhhhh mendingan tidur bung…..
Kali ini cerakentingkeb.blogspot.com akan berbagi ilmu mengenai sejarah Gunung Agung dari masa silam yang bersumber dari berbagai Lontar dan Buku-buku pendukukung. Seperti apa ceritanya…..mari simak di bawah ini….
             Cerita dalam konteks Lontar atau Upa-Purana dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ketika pulau Bali dikenal dengan sebutan Bali Dwipa dan pulau Lombok disebut Selaparang Dwipa yang masih dalam keadaan kosong (duk tan hana paran-paran), keduanya masih tampak mengambang bagaikan perahu tampa kemudi di atas lautan lepas, oleng tampa arah. Ketika itu di pulau Bali ada empat buah gunung sebagai Lingga yang disebut Catur Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuhyang di bagian timur, (2) Gunung Andakasa di bagian selatan, (3) Gunung Watukaru di bagian barat, dan (4) Gunung Mangu di bagian utara. Keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih sangat labil. Kelabilan ini menyebabkan Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) menjadi sangat khawatir, kemudian Beliau memerintahkan kepada Sang Badawang Nala sebagai dasar gunung, Sang Naga Anantha Boga dan Sang Naga Basukih sebagai tali pengikatnya, serta Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, untuk memindahkan bagian puncak Gunung Mahameru ke Bali Dwipa agar bumi Bali menjadi stabil. Dalam perjalanan menerbangkan bagian dari pucak Gunung Mahameru, ada bagian-bagian yang jatuh (rempak atau rubuh) dan tercecer, sehingga jadilah Gunung Batur dan gunung-gunung atau bukit-bukit kecil lainnya di pulau Bali seperti: Gunung Tapsahi, Pengelepangan, Silanjana, Bratan, Pegunungan, Naga Loka, Gunung Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Tratai Bang, Bukit Padang Dawa, Bukit Byaha, Bias Muntig, dan Gunug Sraya. Satu belahan gunung yang merupakan puncak Gunung Mahameru di tempatkan di Bali pada hari Wrespati Kliwon Wuku Merakih, yakni hari pertama bulan ke sepuluh (sasih ke dasa) tahun Çaka 11, gunung tersebut di beri nama Gunung Tohlangkir (Gunung Agung), dengan adanya penambahan dua buah gunung lagi yang besar maka Bali saat itu dikenal dengan sebutan Sad Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuhyang, (2) Gunung Andakasa, (3) Gunung Watukaru, (4) Gunung Mangu, (5) Gunung Batur, dan (7) Gunung Tohlangkir (Gunung Agung). Setelah keadaan Bali Dwipa stabil, barulah Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) yang berstana di Gunung Semeru memerintahkan tiga putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa menjadi junjungan (penyungsungan) rakyat Bali, yaitu: Hyang Genijaya, Hyang Putranjaya, dan Betari Dewi Danuh (Suarjana, 1992: 4). Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul diuraikan sebagai berikut:
Na wuwus Sanghyang Parameswara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijaya Çakti, ling ira; “Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stananta sowang-sowang, ginawe Khyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana katemu denta Gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas puncak manik, adasar ratna kopala winten, akrikil mirah, apasir podhi, ya tika, agran ira Hyang Mahameru nguni, ingsun ginawa mareng Bangsul, sun para tiganen, kang sebagai dadi Gunung Batur, maka dapur candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sebagai isornya, sundadya akna Gunung Rinjani, ikang pucuk ira dadi Hyang Tohlangkir, ngaran gunung sasor nikang Gunung Agung ika lwirnya, saka Purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, Gunung Tasahi, Kulonya Gunung Pangelengan, Kulonya Gunung Mangu, Kulonya Gunung Çilanjana, Kulonya Gunung Beratan, Kulonya  Gunung Watukaru, Kulonya mwah mwah pagunungan Nagaloka, Kulonya mwah, nga, Gunung Pulaki, Mangidul wetan sakeng rika hana Gunung Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana Gunung Andakasa, mwang Uluwatu, terus Mangetanya maring Ghneya desan ira hana Gunung Byaha, mwang Bias Muntig, ikang maring Purwa hana Gunung Lampuyang, Mangalora saka rika hana Gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring Bangsul, ndan makweh kari geger kang maring Madya, tan ucapa akna. Ika ta wenang maka ungguhaning Dharma Khyangan para Dewata kita makabehan”….

Terjemahan:

…Demikian sabda Sanghyang Parameçwara kepada putranya para Dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang Gnijaya Çakti, sabda Beliau; “Wahai anakku sekalian, kamu ku suruh datang ke daerah Bali menjaga pulau Bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat Khyangan,  sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah Bali, hal tersebut berkat yogaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk puncaknya, yang aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagi-bagiannya yang runtuh, pecahan-pecahan besar maupun kecil yang ditempatkan di daratan serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan di Bali, demikianlah anakku engkau Dewata sekalian, kamu akan jumpai Gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di sebelah timur laut, itulah sebagai gunung emas yang berpuncak manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah, berpasir padi, itulah puncaknya Hyang Mahameru dahulu, aku bawa ke Bali, aku bagi menjadi tiga, yang sebagian menjadi Gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, sebagian di bawahnya aku jadikan Gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tohlangkir, bernama Gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan di bawah Gunung Agung itu, seperti. Dari Timur menghitungnya, akan diketahui namanya, yaitu Gunung Tasahi, di Baratnya Gunung Pangelangan, di Baratnya Gunung Mangu, di Baratnya Çilanjana, di Baratnya Gunung Beratan, di Baratnya Gunung Watukaru, di Baratnya Pegunungan Nagaloka, di Baratnya lagi Gunung Pulaki, ke Tenggara dari sana terdapat Gunung Puncaksangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, kesebelah Timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan ada Gunung Andakasa dan Uluwatu, terus ke Timur di sebelah Tenggara ada Gunung Byaha dan Bias Muntig, di sebelah Timur ada Gunung Lempuyang, ke sebelah utara ada Gunung Sraya. Demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah namun tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Khyangan para Dewata kamu sekalian”…. (Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dalam Soebandi, 1983: 8-10).

            Pada tahun Çaka 27 Bali diserang musibah, hujan lebat turun diikuti oleh angin ribut dan petir yang tak henti-hentinya, akhirnya terjadi gempa bumi diiringi suara gemuruh. Setelah dua bulan hujan tak henti-hentinya, Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) meletus mengeluarkan air Salodaka (Sugriwa, 1957: 1-3). Di dalam Babad Pasek diuraikan sebagai berikut:
            …malawas-lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih, tahun icaka 113, malih makeplug hyangning tohlangkir, mijil Bhatara Putranjaya tumut arin Ida Betari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh, aprahyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aprahyangan maring Giri Lempuhyang. Duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de Bhatara Pasupati: “kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, age lah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”. Mangkana andika Bhatara Pasupati, neher matilar Bhatara Tiga, anging hana atur ira: “singgih Hyang Bhatara dening nanak rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahur Bhatara Pasupati, ling ira: “aja walat hati hulun lugraha maka awantha, apan kita anak manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput Bhatara Tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pasupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara awetning takya ajnanan, wus mangkana pawijilan Bhatara nguni….

Terjemahan:

            …lama kelamaan dunia ini berumur 70 tahun, pada hari Sukra Kliwon, Wara Tolu, sasih Kalima tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar menyambung, gempa bumi selama 2 bulan, tahun icaka 133 (tahun 191 masehi) lagi meletus Gunung Agung tersebut, keluar Bhatara Putranjaya, diikuti adik Beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh , berstana di Hulun Danu sedangkan Bhatara Gnijaya berstana di Gunung Lempuhyang. Tatkala berangkat Bhatara Tiga diperintahkan oleh Bhatara Pasupati: “kamu Mahadewa dan Danuh, Gnijaya, segera kalian ku perintahkan sekarang juga, datang ke pulau Bali, supaya pulau Bali menjadi stabil, kalian sebagai pemimpin Bali”, demikan sabda Bhatara Pasupati, sebelum Bhatara Tiga berangkat mereka bertanya: “ya Hyang Bhatara oleh karena putra Rahadyan masih anak-anak, belum pada mengetahui jalan”, demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pasupati, sabda Beliau: “jangan susah hati akan ku berikan petunjuk jalan, sebab kalian anakku jungjunglah (terimalah) olehmu untuk dimuliakan di Bali”, sesudah demikian, lalu dibungkus Bhatara Tiga dengan kelapa gading oleh Bhatara Pasupati, setelah dibungkus digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan bhatin dan sesudah itu berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan Beliau, demikian tibanya Bhatara dahulu….(Babad Pasek dalam Soebandi, 1983: 6-8).
    
            Selanjutnya Sang Hyang Pasupati kembali mengutus empat putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa dengan tujuan agar Bali Dwipa benar-benar stabil dan sempurna, diantaranya yaitu, Hyang Tumuwuh agar berstana di Gunung Watukaru, Hyang Manik Gumawang agar berstana di Gunung Mangu, Hyang Manik Galang agar berstana di Pejeng, dan Hyang Tugunatha agar berstana di Gunung Andakasa. Maka sejak itu pulau Bali dikenal memiliki tujuh buah pemujaan (penyungsungan) di puncak gunung sebagai Lingga atau stana Para Dewa yang disebut Sapta Lingga Giri. Kemudian disusul oleh Para Dewa lainnya untuk berstana pada gunung dan tepi laut, seperti: Dewa-dewa Loka Phala, Dewa Rsi, Tri Dewata, Panca Dewata, Sad Dewata, dan Dewa  Nawasanġa, antara lain: Hyang Brahma, Hyang Wisnu, Hyang Indra, Hyang Sambhu, Hyang Nara Kresna, Hyang Sumarma di Gunung atau Bukit Uluwatu, Hyang Bajramurti di Gunung Rinjani, Hyang Danawa di Gunung Mangu, begitu pula Bhagawan Karsika, Bhagawan Kurusya, Bhagawan Garga, Bhagawan Cakru, Bhagawan Maitri, dan Bhagawan Pretanjala, yang berjasa sehingga keadaan pulau Bali dan Lombok menjadi stabil (Catra, 1998: 3-8). Bersambung…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar