I Wayan Putu Januartawa.S.Pd.
Hayy gesss…. Sudah bisa move on dari isu akan meletusnya
Gunung Agung?? Ngeri eaa, mendengar berita tersebut takutnya minta ampun, kaya
mau sidang Skripsi gitu low,,, dag, dig, dug, serr!!!! ….. bahkan seperti
kembali ke tahun 1965 gerakan 30 S PKI, greget banget ea….berlatar belakang
dari berita adanya peningkatan aktivitas Gunung Api Agung atau level awas yang
mengarah pada erupsi, banyak sekali berita-berita di sosmed dari berbagai
sumber entah itu fakta atau sekedar HOAX….yaelah, taulah manusia zaman sekarang
cari sensasi ujung-ujunya ingin terkenal….adeeecchhhhh mendingan tidur bung…..
Kali ini cerakentingkeb.blogspot.com
akan berbagi ilmu mengenai sejarah Gunung Agung dari masa silam yang bersumber
dari berbagai Lontar dan Buku-buku
pendukukung. Seperti apa ceritanya…..mari simak di bawah ini….
Cerita dalam
konteks Lontar atau Upa-Purana
dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ketika pulau Bali dikenal dengan sebutan Bali Dwipa dan pulau Lombok disebut Selaparang Dwipa yang masih dalam
keadaan kosong (duk tan hana paran-paran),
keduanya masih tampak mengambang bagaikan perahu tampa kemudi di atas lautan
lepas, oleng tampa arah. Ketika itu di pulau Bali ada empat buah gunung sebagai
Lingga yang disebut Catur Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung
Lempuhyang di bagian timur, (2) Gunung Andakasa di bagian selatan, (3) Gunung
Watukaru di bagian barat, dan (4) Gunung Mangu di bagian utara. Keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih sangat
labil. Kelabilan ini menyebabkan Bhatara
Hyang Pasupati (Sang Hyang
Parameswara) menjadi sangat khawatir, kemudian Beliau memerintahkan kepada Sang Badawang Nala sebagai dasar gunung,
Sang Naga Anantha Boga dan Sang Naga Basukih sebagai tali
pengikatnya, serta Sang Naga Taksaka
yang menerbangkannya, untuk memindahkan bagian puncak Gunung Mahameru ke Bali Dwipa agar bumi Bali menjadi
stabil. Dalam perjalanan menerbangkan bagian dari pucak Gunung Mahameru, ada
bagian-bagian yang jatuh (rempak atau rubuh) dan tercecer, sehingga jadilah
Gunung Batur dan gunung-gunung atau bukit-bukit kecil lainnya di pulau Bali seperti:
Gunung Tapsahi, Pengelepangan, Silanjana, Bratan, Pegunungan, Naga Loka, Gunung
Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Tratai Bang, Bukit Padang Dawa, Bukit
Byaha, Bias Muntig, dan Gunug Sraya. Satu belahan gunung yang merupakan puncak
Gunung Mahameru di tempatkan di Bali pada hari Wrespati Kliwon Wuku Merakih, yakni hari pertama bulan ke sepuluh (sasih ke dasa) tahun Çaka 11, gunung tersebut di beri nama
Gunung Tohlangkir (Gunung Agung), dengan adanya penambahan dua buah gunung lagi
yang besar maka Bali saat itu dikenal dengan sebutan Sad Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuhyang, (2) Gunung
Andakasa, (3) Gunung Watukaru, (4) Gunung Mangu, (5) Gunung Batur, dan (7)
Gunung Tohlangkir (Gunung Agung). Setelah keadaan Bali Dwipa stabil, barulah Bhatara Hyang Pasupati (Sang Hyang Parameswara) yang berstana di
Gunung Semeru memerintahkan tiga putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa menjadi
junjungan (penyungsungan) rakyat Bali, yaitu: Hyang Genijaya, Hyang
Putranjaya, dan Betari Dewi Danuh
(Suarjana, 1992: 4). Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul diuraikan
sebagai berikut:
…Na wuwus Sanghyang Parameswara ri tanayan
ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijaya Çakti, ling
ira; “Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing
Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa
kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stananta sowang-sowang, ginawe
Khyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami
ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring
Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya,
dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag
abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan
geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata
kita kabeh, hana katemu denta Gunung Agung, tinengeran giri raja, maring
Airsanya, ya ta gunung mas puncak manik, adasar ratna kopala winten, akrikil
mirah, apasir podhi, ya tika, agran ira Hyang Mahameru nguni, ingsun ginawa
mareng Bangsul, sun para tiganen, kang sebagai dadi Gunung Batur, maka dapur
candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sebagai isornya, sundadya akna
Gunung Rinjani, ikang pucuk ira dadi Hyang Tohlangkir, ngaran gunung sasor
nikang Gunung Agung ika lwirnya, saka Purwa amilangi, kawruh akna pangaranya,
Gunung Tasahi, Kulonya Gunung Pangelengan, Kulonya Gunung Mangu, Kulonya Gunung
Çilanjana, Kulonya Gunung Beratan, Kulonya
Gunung Watukaru, Kulonya mwah mwah pagunungan Nagaloka, Kulonya mwah,
nga, Gunung Pulaki, Mangidul wetan sakeng rika hana Gunung Puncak Sangkur,
Bukit Rangda, Trate Bang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi
Kidul, hana Gunung Andakasa, mwang Uluwatu, terus Mangetanya maring Ghneya
desan ira hana Gunung Byaha, mwang Bias Muntig, ikang maring Purwa hana Gunung
Lampuyang, Mangalora saka rika hana Gunung Sraya, samangkana pasama dayaning
acala sumimpa maring Bangsul, ndan makweh kari geger kang maring Madya, tan
ucapa akna. Ika ta wenang maka ungguhaning Dharma Khyangan para Dewata kita
makabehan”….
Terjemahan:
…Demikian
sabda Sanghyang Parameçwara kepada putranya para Dewata sekalian, terutama
sekali Sanghyang Gnijaya Çakti, sabda Beliau; “Wahai anakku sekalian, kamu ku suruh datang ke daerah Bali menjaga
pulau Bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih
gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat Khyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah
Bali, hal tersebut berkat yogaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku
tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong
pertengahan termasuk puncaknya, yang aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak
bagi-bagiannya yang runtuh, pecahan-pecahan besar maupun kecil yang ditempatkan
di daratan serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan di Bali, demikianlah
anakku engkau Dewata sekalian, kamu akan jumpai Gunung Agung, sebagai tanda
gunung besar, di sebelah timur laut, itulah sebagai gunung emas yang berpuncak
manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah, berpasir padi, itulah puncaknya
Hyang Mahameru dahulu, aku bawa ke Bali, aku bagi menjadi tiga, yang sebagian
menjadi Gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, sebagian
di bawahnya aku jadikan Gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tohlangkir,
bernama Gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan di bawah Gunung
Agung itu, seperti. Dari Timur menghitungnya, akan diketahui namanya, yaitu
Gunung Tasahi, di Baratnya Gunung Pangelangan, di Baratnya Gunung Mangu, di
Baratnya Çilanjana, di Baratnya Gunung Beratan, di Baratnya Gunung Watukaru, di
Baratnya Pegunungan Nagaloka, di Baratnya lagi Gunung Pulaki, ke Tenggara dari
sana terdapat Gunung Puncaksangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, kesebelah Timur
lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan ada Gunung Andakasa dan Uluwatu,
terus ke Timur di sebelah Tenggara ada Gunung Byaha dan Bias Muntig, di sebelah
Timur ada Gunung Lempuyang, ke sebelah utara ada Gunung Sraya. Demikianlah
semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah
namun tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Khyangan
para Dewata kamu sekalian”…. (Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dalam
Soebandi, 1983: 8-10).
Pada tahun Çaka
27 Bali diserang musibah, hujan lebat turun diikuti oleh angin ribut dan petir
yang tak henti-hentinya, akhirnya terjadi gempa bumi diiringi suara gemuruh.
Setelah dua bulan hujan tak henti-hentinya, Gunung Tohlangkir (Gunung Agung)
meletus mengeluarkan air Salodaka
(Sugriwa, 1957: 1-3). Di dalam Babad
Pasek diuraikan sebagai berikut:
…malawas-lawas
ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih kalima, tang ping 5, rah
panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih, tahun
icaka 113, malih makeplug hyangning tohlangkir, mijil Bhatara Putranjaya tumut
arin Ida Betari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa,
arine Bhatari Dewi Danuh, aprahyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya
aprahyangan maring Giri Lempuhyang. Duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de
Bhatara Pasupati: “kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, age lah ta kita ku kinon
samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka
panghuluning Bali”. Mangkana andika Bhatara Pasupati, neher matilar Bhatara
Tiga, anging hana atur ira: “singgih Hyang Bhatara dening nanak rahadyan
Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga.
Sumahur Bhatara Pasupati, ling ira: “aja walat hati hulun lugraha maka awantha,
apan kita anak manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus
samangkana, raris sinaput Bhatara Tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara
Pasupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara awetning takya ajnanan, wus
mangkana pawijilan Bhatara nguni….
Terjemahan:
…lama kelamaan dunia ini berumur 70
tahun, pada hari Sukra Kliwon, Wara Tolu, sasih Kalima tanggal ping 5, rah
panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar menyambung, gempa bumi
selama 2 bulan, tahun icaka 133
(tahun 191 masehi) lagi meletus Gunung Agung tersebut, keluar Bhatara Putranjaya, diikuti adik Beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih
dengan bergelar Bhatara Mahadewa,
adiknya Bhatari Dewi Danuh , berstana
di Hulun Danu sedangkan Bhatara Gnijaya berstana di Gunung
Lempuhyang. Tatkala berangkat Bhatara
Tiga diperintahkan oleh Bhatara
Pasupati: “kamu Mahadewa dan Danuh,
Gnijaya, segera kalian ku perintahkan sekarang juga, datang ke pulau Bali,
supaya pulau Bali menjadi stabil, kalian sebagai pemimpin Bali”, demikan sabda Bhatara Pasupati, sebelum Bhatara
Tiga berangkat mereka bertanya: “ya
Hyang Bhatara oleh karena putra Rahadyan masih anak-anak, belum pada mengetahui
jalan”, demikian atur Bhatara Tiga.
Dijawab oleh Bhatara Pasupati, sabda
Beliau: “jangan susah hati akan ku
berikan petunjuk jalan, sebab kalian anakku jungjunglah (terimalah) olehmu
untuk dimuliakan di Bali”, sesudah demikian, lalu dibungkus Bhatara Tiga dengan kelapa gading oleh Bhatara Pasupati, setelah dibungkus digaibkan oleh Bhatara,
dengan kekuatan bhatin dan sesudah itu berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan Beliau, demikian tibanya Bhatara dahulu….(Babad Pasek dalam
Soebandi, 1983: 6-8).
Selanjutnya Sang
Hyang Pasupati kembali mengutus empat putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa dengan tujuan agar Bali Dwipa benar-benar stabil dan
sempurna, diantaranya yaitu, Hyang
Tumuwuh agar berstana di Gunung Watukaru, Hyang Manik Gumawang agar berstana di Gunung Mangu, Hyang Manik Galang agar berstana di
Pejeng, dan Hyang Tugunatha agar
berstana di Gunung Andakasa. Maka sejak itu pulau Bali dikenal memiliki tujuh
buah pemujaan (penyungsungan) di
puncak gunung sebagai Lingga atau
stana Para Dewa yang disebut Sapta Lingga
Giri. Kemudian disusul oleh Para Dewa lainnya untuk berstana pada gunung
dan tepi laut, seperti: Dewa-dewa Loka
Phala, Dewa Rsi, Tri Dewata, Panca Dewata, Sad Dewata,
dan Dewa
Nawasanġa, antara lain: Hyang
Brahma, Hyang Wisnu, Hyang Indra, Hyang Sambhu, Hyang Nara
Kresna, Hyang Sumarma di Gunung
atau Bukit Uluwatu, Hyang Bajramurti
di Gunung Rinjani, Hyang Danawa di
Gunung Mangu, begitu pula Bhagawan
Karsika, Bhagawan Kurusya, Bhagawan Garga, Bhagawan Cakru, Bhagawan
Maitri, dan Bhagawan Pretanjala,
yang berjasa sehingga keadaan pulau Bali dan Lombok menjadi stabil (Catra,
1998: 3-8). Bersambung…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar